Topik tentang ujaran
kebencian ramai dibicarakan belakangan ini. Bermula dari keluarnya Surat Edaran
Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) pada 8 Oktober 2015. Surat
edaran ini pada dasarnya ditujukan bagi kalangan internal dan merupakan
tindakan afirmatif atas berbagai peraturan perundang-undangan yang ada seperti
KHUP, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor
40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan UU Nomor 7
Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Selanjutnya apa yang
dimengerti sebagai ujaran kebencian menurut SE Kapolri termanifestasi ke dalam
bentuk-bentuk seperti penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan
tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong dan
semua tindakan di atas yang memiliki tujuan atau dapat berdampak pada tindak
diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan/atau konflik sosial, serta
menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat
dalam berbagai komunitas yang terbedakan berdasarkan aspek suku, agama, aliran
keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender,
kaum difabel dan orientasi seksual.
Sehingga, poin krusial
surat edaran di atas sebenarnya inheren di dalam berbagai peraturan yang
dijadikan rujukan, dan telah sejak lama dipersoalkan sejumlah pihak karena
dianggap kontraproduktif terhadap proses demokratisasi yang tengah berlangsung.
Demokrasi karenanya menjadi wacana
sentral dalam isu SE Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian.
Secara tradisional,
menurut Tocqueville, gagasan mengenai demokrasi mencakup kebebasan dan
persamaan sebagai elemennya. Elemen kebebasan sendiri, menurut Diamond, dapat
dibedakan menjadi kebebasan sipil dan politik yang mewujud pada konsep HAM
generasi pertama yang meliputi hak-hak sipil dan politik. Prinsip kebebasan
tidak terlepas dari konteks historis kemenangan gagasan demokrasi dalam periode
revolusi Perancis dan sederet kekalahan raja diInggris dalam berbagai perang
saudara. Revolusi Perancis seperti yang diketahui, telah meruntuhkan struktur
masyarakat feodal beserta formasi politik monarkhisnya yang absolutis. Segera
setelah itu tumbuh berbagai gagasan yang konon diresapi oleh prinsip kebebasan
(demokrasi), ide negara hukum dan konstitusionalisme di lapangan
ketatanegaraan, trias politika pada bidang tata pemerintahan, HAM pada bidang
politik kenegaraan dan laissez faire/liberalisme
(kapitalisme) pada aspek ekonomi.
Terdapat benang merah
yang mengindikasikan kesamaan sumber ide dari masing-masing gagasan di atas.
Tiap-tiap gagasan tersebut mengandaikan pembatasan terhadap kekuasaan negara.
Negara beserta aparaturnya apabila terlalu berkuasa diyakini akan mengancam
kebebasan individu (di bidang sosial politik dan ekonomi) dan dengan demikian
merupakan ancaman bagi demokrasi itu sendiri. Pembesaran kekuasaan negara pun karenanya
berpotensi melanggar HAM. Perspektif ini yang selanjutnya dipergunakan dalam
menyusun dokumen Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Jenis-jenis
hak yang terhimpun dalam kovenan berkaitan dengan di antaranya persoalan
diskriminasi rasial, agama, kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum,
berserikat dan lain-lain. Hak-hak tersebut terkategori sebagai hak negatif yang
berarti terdapat minimalisasi peran negara dalam ruang pribadi, hak-hak
individu bersifat otonom dan dibebaskan dari campur tangan pihak manapun termasuk
individu lain.
Di Indonesia,
konstitusi mengadopsi gagasan HAM secara keseluruhan, hak-hak sipil dan politik
warga memperoleh jaminan selama tidak menabrak hak dan kebebasan individu lain.
Artinya konstitusi memberi kemungkinan pula bagi pembatasan implementasi HAM
melalui undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketetiban umum (Pasal 28 J ayat (2) UUD
Negara RI Tahun 1945). Pada titik ini terminologi ujaran kebencian memperoleh
pemaknaan konstitusional, yaitu setiap tindakan baik lisan maupun tertulis yang
berpotensi melanggar hak dan kebebasan individu atau kelompok lain.
Selama apa yang dimengerti sebagai ujaran kebencian dalam SE Kapolri
tersebut adalah dalam rangka perlindungan relasi kebebasan tiap-tiap warga
sebagaimana yang dimaksud konstitusi, tentu bukan soal. Persoalan akan
mengemuka saat pihak kepolisian dalam menjalankan tugasnya justru
merepresentasikan perluasan kekuatan aparatus represif. Dimisalkan dalam aspek
prosedur formil pelaksanaan SE ini, personel kepolisian melakukan pengawasan terhadap
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tindakan ini berpotensi menimbulkan
suasana kecemasan di kalangan warga dalam menunaikan hak-hak konstitusionalnya.
Bahkan Andi Arief, tokoh demokrasi, mensinyalir
bahwa pendekatan tersebut memiliki kemiripan dengan cara-cara yang dipergunakan
rezim Orde Baru dalam mengontrol aktivitas warganya.
Persoalan selanjutnya
terletak pada dasar hukum dari SE tersebut, terutama yang berkaitan dengan
pasal penghinaan dan pencemaran nama baik. Menurut
Herlambang Perdana Wiratman, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, pada 2014 sebanyak 50 negara melakukan dekriminalisasi atau
penghapusan atas delik defamasi (pencemaran nama baik) dari sistem hukum
negaranya. Demikian halnya dengan PBB yang telah merekomendasikan penghapusan
atas ketentuan tersebut. Penghapusan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan
tingkat perkembangan demokrasi saat ini. Hal ini dikonfirmasi oleh hasil penelitian Inter-American
Commision on Human Right yang mencatat dalam Report on the compatibility of desacota laws
with the American Convention on Human Rights yang menyebut bahwa hukuman pidana akan
menjadi efek yang menakutkan dalam kemerdekaan berekspresi. Ini mengingatkan
kita pula pada Prita Mulyasari yang sempat mengalami efek traumatis terhadap
e-mail pasca penetapannya sebagai tersangka.
Kita tentu mendambakan
demokrasi sehat yang tidak meminggirkan sebagian masyarakat melalui wacana
kebencian sehingga hak dan kebebasannya sebagai warga negara terenggut. Namun,
pemegang kuasa (negara/pemerintahan dalam arti luas) pun sudah seharusnya
memikirkan pendekatan alternatif di luar pemidanaan untuk memastikan seluruh
warga menikmati hak dan kebebasannya
tanpa gangguan. Melalui perluasan ruang demokrasi misalnya atau aksi-aksi
edukatif sehingga tidak melulu penyehatan demokrasi dilakukan lewat ancaman
maupun represi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar