Memerdekakan Anak: Berikan Satu Hari Pada Keluarga[1]
Anak-anakmu
bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu
-
Kahlil Gibran
Mengapa anakku bukan milikku? Tanya seorang
suami selepas melirik bait puisi dalam buku yang sedang dibaca istrinya. Pertama,
anak kita bukan barang; kedua, tidak pula obyek hukum perdata; ketiga, anak kita anak
manusia. Tanya-jawab imajiner sepasang orang tua tersebut di atas segalanya
adalah imaji. Ibarat kegiatan produksi barang-barang yang membutuhkan
bahan-bahan material yang nyata, imaji di atas pun adalah hasil kegiatan
pengolahan (baca: berpikir) bahan-bahan
(baca: informasi) yang bersumber dari kenyataan. Walau berstatus imajiner,
tidak lantas keseluruhan sama sekali imajinasi. Bagaimana pun juga imajinasi
itu adalah tempat bagi kenyataaan mencermin dirinya.
Anak-anak bukan barang, anak-anak bukan
obyek hukum perdata, singkatnya bukan obyek kepemilikan karena mereka adalah
anak-anak manusia yang akan tumbuh menjadi manusia. Apa itu yang disebut dengan
anak-anak manusia sehingga membuat segala klaim kepemilikan atasnya
terbatalkan? Terkait jawaban atas pertanyaan ini, Ki Hadjar Dewantara
mengadaptasikan sebuah pandangan yang selanjutnya berpengaruh besar pada
gagasan beliau tentang pendidikan. Pandangan tersebut selanjutnya beliau
perkenalkan dengan teori konvergensi. Anak manusia, menurut teori ini, terlahir
seperti kertas yang telah penuh berisi tulisan, akan tetapi tulisan yang
samar-samar. Anak-anak terlahir dengan membawa serta potensi serta bakat
alamiahnya. Anak-anak manusia karenanya terhubung dengan kodrat tertentu dan
dikenali di dalam hubungan tersebut.
Anak-anak manusia pun dapat dikenali lewat
praksis sejarah manusia membentuk realitas sosialnya. Meski demikian, manusia
tidak dapat sekehendaknya membentuk sejarah dan realitas sosialnya, hasil
praksis tersebut berbalik mengkondisi kita. Freire selanjutnya berkesimpulan,
jika kita yang membentuk realitas sosial dan sejarah, maka mengubah ralitas pun
menjadi tugas kesejarahan dari kita. Dari terang pengertian demikian beliau
menyatakan sebuah kondisi dari seseorang disebut manusiawi saat kita mengerti
kedudukan kita dalam realitas masyarakat dan berkemampuan aktif mengubah
realitas (penindasan) menjadi pro kemanusiaan. Ditegaskan, kita tidak akan
menjadi benar-benar manusiawi tanpa praksis demikian.
Pada dasarnya manusia menjadi manusia
seutuhnya saat menjadi manusia yang merdeka. Untuk itu, diperlukan lah
pendidikan. Manusia merdeka saat menjadi manusia yang mandiri, tidak menjadi
pelayan bagi kaum penindas (perampas kemerdekaan) dan berkemampuan aktif
mengondisikan ulang realitas sosial agar selaras dengan kondisi kemanusiaannya.
Manusia termerdekakan saat syarat-syaratnya telah terpenuhi, yaitu saat ia
terhubung dengan bakat dan potensi kodratinya dan berani untuk bebas
(berprakarsa). Pendidikan pun untuk memenuhi maksud tersebut hanya berperan
menuntun serta diselenggarakan bersama, bukan hanya sekedar untuk, anak-anak
manusia dan kita. Pendidik adalah penuntun sedang anak-anak adalah subyek aktif
yang hidup, bukan ember kosong yang suka-suka pendidik hendak mengisinya
dengan cairan apa pun. Ada pun yang dituntun adalah kekuatan bakat dan potensi
kodrati yang ada pada anak-anak tersebut.
Keluarga Sebagai Pusat Pendidikan
Tugas
manusia adalah menjadi manusia, demikian Freire. Bila usaha menjadi manusia
bersifat kodrati maka proses itu pun telah melekat di dalam diri kita sejak
lahir. Kenyataan hari ini, secara umum anak-anak terlahir di tengah apa yang
kita sebut sebagai keluarga. Anak-anak menghabiskan sebagian waktu bertumbuhnya
di tengah-tengah keluarga. Di atas telah disebutkan jika anak-anak membawa
sesuatu yang kodrati sejak mula. Hal tersebut berarti bahwa hidup serta
tumbuhnya berdasarkan kodrat yang dibawanya. Jika benar demikian, pendidikan
menjadi kehilangan makna. Seluruh pihak tinggal bertawakal, berserah-pasrah, nrimo,
menunggu sang anak menjemput takdirnya. Anak-anak dan kita adalah wayang
karenanya tidak perlu bertanggung jawab atas apa pun.
Mengikutsertakan
konsep kodrat dalam setiap pembicaraan memang beresiko menjerumuskan kita pada
fatalisme. Anak-anak bukan lagi dianggap sebagai subyek aktif, melainkan subyek
yang pasif. Mereka dianggap tetap hidup namun hidup dan tumbuh di bawah kendali
hal-ikhwal kodrati. Segalanya di luar hal-ikhwal kodrati tersebut tidak
memiliki daya untuk mengupayakan apa pun bagi tumbuh dan berkembangnya anak.
Ini yang disebut dengan obyektivisme oleh Freire. Subyek tetap ada namun
berperan menjadi wayang bagi obyektivitas yang menjadi dalangnya.
Seturut
pandangan yang demikian, keluarga kehilangan perannya dalam sistem pendidikan.
Keluarga pun berhak berpasrah total menunggu kemana pun gerak kodrat
mengarahkan anak-anaknya. Analog pertumbuhan padi barangkali mampu menjawab
pandangan tersebut. Keluarga diibaratkan Pak Tani yang menanam padi di sawah,
padi dalam analog ini adalah anak-anak. Padi telah membawa kodratnya sebagai
padi. Untuk memperoleh padi yang baik, Pak tani tidak dapat membiarkan begitu
saja padi bertumbuh tanpa perawatan. Selain itu, faktanya, pengembangan
varietas padi unggul pun dimungkinkan melalui perkembangan ilmu pengetahuan.
Apa yang
ingin disampaikan analog tersebut adalah tentang batasan bagi kemungkinan dan
apa yang mustahil dalam pendidikan anak dalam keluarga. Mungkin bagi Pak Tani
untuk meningkatkan kulitas baik dalam padi melalui perawatan, mungkin pula
keunggulan padi ditingkatkan melalui pengembangan varietas baru. Akan tetapi,
mustahil bagi siapa pun mendapatkan padi berbuah gandum. Mungkin pula bagi
keluarga menuntun anak memperkuat sisi baik potensi dan bakat kodratinya. Di
sisi lain, mustahil pula bagi keluarga mengubah apa yang menjadi batas kodrati
pada diri si anak, yaitu kodratnya sebagai subyek yang hidup dan berkemampuan
aktif membentuk kenyataan dan sejarahnya dalam batasan-batasan kenyataan sosial
dan alam. Disebut kodrati karena apabila kualitas tersebut dibelenggu atas nama
pendidikan akan melahirkan perlawanan dari para pemilik kodrat. Pada batasan
tersebut lah pihak pendidik diharapkan mampu berserah diri.
Bagaimana
tujuan mendasar pendidikan secara umum demikian pula pendekatan yang akan
dipergunakan dalam mendidik anak.
Pemimpin dalam keluarga demikian pula seluruh bagian dari keluarga berperan
sebagai penuntun atau fasilitator bagi aktivitas pendidikan anak. Orang tua
memegang peran kunci dalam konteks keluarga dengan formasi keluarga inti
sebagaimana yang lazim eksis saat ini. Di samping karena faktor struktural,
orang tua memiliki kualitas yang tak dimiliki guru atau pengajar sekolahan,
yaitu apa yang disebut oleh ki Hadjar sebagai naluri pedagogis yang mewujud
dalam keinginan naluriah memberikan apa pun untuk kebaikan anak-anaknya. Dalam
panduan kualitas tersebut orang tua dapat berkedudukan sebagai guru yang
menuntun, pengajar (transfer pengetahuan dan ketrampilan kerja) sekaligus
teladan (utamanya dalam ketrampilan bersosialisasi). Kedudukan orang tua yang demikian
pun dilandasi oleh kebutuhan (yang dapat dipenuhi oleh keluarga) akan
penyaluran potensi, bakat dan aspek kodrati dari anak tidak hanya dalam
pekerjaan pikiran tapi juga pekerjaan tubuh. Anak-anak dilibatkan dalam
pekerjaan rumah tangga dengan porsi yang sesuai. Hal ini bertujuan
mengantisipasi overdosis kegiatan berpikir yang memicu berkembangnya
kecendrungan intelektualisme pada anak. Intelektualisme diyakini menjadi sumber
persoalan seseorang dalam hidup bermasyarakat.
Keluarga dalam kondisinya yang ideal, dalam
kenyataan saat ini, berperan sentral dalam usaha pencapaian sisi kodrati anak
sebagai manusia. Di luar sana, kehidupan masyarakat di dalam jejaring
kapitalisme global semakin kompetitif. Kita semua dituntut menganut profesionalisme
dan menganggap yang lain jika bukan kompetitor pasti lah relasi bisnis. Tidak
ada empati apalagi hubungan tanpa pamrih. Solidaritas sosial dimengerti sebagai
barbarisme geng motor atau tawuran primordial dan sejenisnya. Kasih tulus
sesama dipandang sebagai sentimentalisme naif. Pusat-pusat pendidikan di
masyarakat mengadaptasikan norma-norma kapitalisme seperti persaingan antar peserta
didik (individualisme) dan penanaman kesadaran adaptif terhadap sistem dominan
di antara peserta didik, yakni dalam rupa pilihan berkarir sebagai pekerja atau
usahawan. Peserta didik sulit berimajinasi di luar wacana dominan kapitalisme.
Peserta didik pun selanjutnya mengalami penumpulan daya kreatif dan kodrat
kemanusiaannya sebagai subyek aktif pembentuk serta pengubah realitas sosial.
Peran keluarga pada akhirnya semakin
penting. Di dalam keluarga anak berpeluang
memperoleh suasana solider, kooperatif, empati dan kasih tulus.
Sehingga, di dalam keluarga pula anak akan memperoleh pengalaman yang menuntunnya
pada pengertian akan sisi kodratinya, sejauh keluarga berada pada kondisi yang
sesuai untuk itu. Kondisi yang dimaksud tersebut ditandai dengan keberadaan
demokrasi di dalam keluarga, partisipasi anak dalam kegiatan rumah, dan orang
tua yang menuntun. Dewasa ini, sudah menjadi kebiasaan umum orang tua
memperketat jadwal belajar tambahan di luar rumah. Situasi semacam itu malah
semakin membuat relevan seruan Ki Hadjar berpuluh tahun lalu: “berikan lah satu
hari untuk keluarga”. Satu hari dalam satu minggu adalah kebutuhan untuk
memperkuat hubungan anak dan keluarganya. Menyesuaikan kondisi keluarga dengan
kebutuhan penuntunan kekuatan sisi kodrati anak berarti memperbesar peluang
kelahiran manusia-manusia merdeka.
anak-anak dan orang tua, alias dewasa berusia tua, sama: manusia. yang tua dong, yang harusnya sudah bisa berpikir kompleks pun abstrak dan sepatutnya... ya gitu deh. salam Blog-Walking :D
BalasHapus