Jumat, 22 Juli 2016

Memerdekakan Anak: Berikan Satu Hari Pada Keluarga



Memerdekakan Anak: Berikan Satu Hari Pada Keluarga[1]



Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu
-          Kahlil Gibran
Mengapa anakku bukan milikku? Tanya seorang suami selepas melirik bait puisi dalam buku yang sedang dibaca istrinya. Pertama, anak kita bukan barang; kedua, tidak pula obyek  hukum perdata; ketiga, anak kita anak manusia. Tanya-jawab imajiner sepasang orang tua tersebut di atas segalanya adalah imaji. Ibarat kegiatan produksi barang-barang yang membutuhkan bahan-bahan material yang nyata, imaji di atas pun adalah hasil kegiatan pengolahan (baca: berpikir)  bahan-bahan (baca: informasi) yang bersumber dari kenyataan. Walau berstatus imajiner, tidak lantas keseluruhan sama sekali imajinasi. Bagaimana pun juga imajinasi itu adalah tempat bagi kenyataaan mencermin dirinya.
Anak-anak bukan barang, anak-anak bukan obyek hukum perdata, singkatnya bukan obyek kepemilikan karena mereka adalah anak-anak manusia yang akan tumbuh menjadi manusia. Apa itu yang disebut dengan anak-anak manusia sehingga membuat segala klaim kepemilikan atasnya terbatalkan? Terkait jawaban atas pertanyaan ini, Ki Hadjar Dewantara mengadaptasikan sebuah pandangan yang selanjutnya berpengaruh besar pada gagasan beliau tentang pendidikan. Pandangan tersebut selanjutnya beliau perkenalkan dengan teori konvergensi. Anak manusia, menurut teori ini, terlahir seperti kertas yang telah penuh berisi tulisan, akan tetapi tulisan yang samar-samar. Anak-anak terlahir dengan membawa serta potensi serta bakat alamiahnya. Anak-anak manusia karenanya terhubung dengan kodrat tertentu dan dikenali di dalam hubungan tersebut.
Anak-anak manusia pun dapat dikenali lewat praksis sejarah manusia membentuk realitas sosialnya. Meski demikian, manusia tidak dapat sekehendaknya membentuk sejarah dan realitas sosialnya, hasil praksis tersebut berbalik mengkondisi kita. Freire selanjutnya berkesimpulan, jika kita yang membentuk realitas sosial dan sejarah, maka mengubah ralitas pun menjadi tugas kesejarahan dari kita. Dari terang pengertian demikian beliau menyatakan sebuah kondisi dari seseorang disebut manusiawi saat kita mengerti kedudukan kita dalam realitas masyarakat dan berkemampuan aktif mengubah realitas (penindasan) menjadi pro kemanusiaan. Ditegaskan, kita tidak akan menjadi benar-benar manusiawi tanpa praksis demikian.
Pada dasarnya manusia menjadi manusia seutuhnya saat menjadi manusia yang merdeka. Untuk itu, diperlukan lah pendidikan. Manusia merdeka saat menjadi manusia yang mandiri, tidak menjadi pelayan bagi kaum penindas (perampas kemerdekaan) dan berkemampuan aktif mengondisikan ulang realitas sosial agar selaras dengan kondisi kemanusiaannya. Manusia termerdekakan saat syarat-syaratnya telah terpenuhi, yaitu saat ia terhubung dengan bakat dan potensi kodratinya dan berani untuk bebas (berprakarsa). Pendidikan pun untuk memenuhi maksud tersebut hanya berperan menuntun serta diselenggarakan bersama, bukan hanya sekedar untuk, anak-anak manusia dan kita. Pendidik adalah penuntun sedang anak-anak adalah subyek aktif yang hidup, bukan ember kosong yang suka-suka pendidik hendak mengisinya dengan cairan apa pun. Ada pun yang dituntun adalah kekuatan bakat dan potensi kodrati yang ada pada anak-anak tersebut.

Keluarga Sebagai Pusat Pendidikan
Tugas manusia adalah menjadi manusia, demikian Freire. Bila usaha menjadi manusia bersifat kodrati maka proses itu pun telah melekat di dalam diri kita sejak lahir. Kenyataan hari ini, secara umum anak-anak terlahir di tengah apa yang kita sebut sebagai keluarga. Anak-anak menghabiskan sebagian waktu bertumbuhnya di tengah-tengah keluarga. Di atas telah disebutkan jika anak-anak membawa sesuatu yang kodrati sejak mula. Hal tersebut berarti bahwa hidup serta tumbuhnya berdasarkan kodrat yang dibawanya. Jika benar demikian, pendidikan menjadi kehilangan makna. Seluruh pihak tinggal bertawakal, berserah-pasrah, nrimo, menunggu sang anak menjemput takdirnya. Anak-anak dan kita adalah wayang karenanya tidak perlu bertanggung jawab atas apa pun.
Mengikutsertakan konsep kodrat dalam setiap pembicaraan memang beresiko menjerumuskan kita pada fatalisme. Anak-anak bukan lagi dianggap sebagai subyek aktif, melainkan subyek yang pasif. Mereka dianggap tetap hidup namun hidup dan tumbuh di bawah kendali hal-ikhwal kodrati. Segalanya di luar hal-ikhwal kodrati tersebut tidak memiliki daya untuk mengupayakan apa pun bagi tumbuh dan berkembangnya anak. Ini yang disebut dengan obyektivisme oleh Freire. Subyek tetap ada namun berperan menjadi wayang bagi obyektivitas yang menjadi dalangnya.
Seturut pandangan yang demikian, keluarga kehilangan perannya dalam sistem pendidikan. Keluarga pun berhak berpasrah total menunggu kemana pun gerak kodrat mengarahkan anak-anaknya. Analog pertumbuhan padi barangkali mampu menjawab pandangan tersebut. Keluarga diibaratkan Pak Tani yang menanam padi di sawah, padi dalam analog ini adalah anak-anak. Padi telah membawa kodratnya sebagai padi. Untuk memperoleh padi yang baik, Pak tani tidak dapat membiarkan begitu saja padi bertumbuh tanpa perawatan. Selain itu, faktanya, pengembangan varietas padi unggul pun dimungkinkan melalui perkembangan ilmu pengetahuan.
Apa yang ingin disampaikan analog tersebut adalah tentang batasan bagi kemungkinan dan apa yang mustahil dalam pendidikan anak dalam keluarga. Mungkin bagi Pak Tani untuk meningkatkan kulitas baik dalam padi melalui perawatan, mungkin pula keunggulan padi ditingkatkan melalui pengembangan varietas baru. Akan tetapi, mustahil bagi siapa pun mendapatkan padi berbuah gandum. Mungkin pula bagi keluarga menuntun anak memperkuat sisi baik potensi dan bakat kodratinya. Di sisi lain, mustahil pula bagi keluarga mengubah apa yang menjadi batas kodrati pada diri si anak, yaitu kodratnya sebagai subyek yang hidup dan berkemampuan aktif membentuk kenyataan dan sejarahnya dalam batasan-batasan kenyataan sosial dan alam. Disebut kodrati karena apabila kualitas tersebut dibelenggu atas nama pendidikan akan melahirkan perlawanan dari para pemilik kodrat. Pada batasan tersebut lah pihak pendidik diharapkan mampu berserah diri.
Bagaimana tujuan mendasar pendidikan secara umum demikian pula pendekatan yang akan dipergunakan  dalam mendidik anak. Pemimpin dalam keluarga demikian pula seluruh bagian dari keluarga berperan sebagai penuntun atau fasilitator bagi aktivitas pendidikan anak. Orang tua memegang peran kunci dalam konteks keluarga dengan formasi keluarga inti sebagaimana yang lazim eksis saat ini. Di samping karena faktor struktural, orang tua memiliki kualitas yang tak dimiliki guru atau pengajar sekolahan, yaitu apa yang disebut oleh ki Hadjar sebagai naluri pedagogis yang mewujud dalam keinginan naluriah memberikan apa pun untuk kebaikan anak-anaknya. Dalam panduan kualitas tersebut orang tua dapat berkedudukan sebagai guru yang menuntun, pengajar (transfer pengetahuan dan ketrampilan kerja) sekaligus teladan (utamanya dalam ketrampilan bersosialisasi). Kedudukan orang tua yang demikian pun dilandasi oleh kebutuhan (yang dapat dipenuhi oleh keluarga) akan penyaluran potensi, bakat dan aspek kodrati dari anak tidak hanya dalam pekerjaan pikiran tapi juga pekerjaan tubuh. Anak-anak dilibatkan dalam pekerjaan rumah tangga dengan porsi yang sesuai. Hal ini bertujuan mengantisipasi overdosis kegiatan berpikir yang memicu berkembangnya kecendrungan intelektualisme pada anak. Intelektualisme diyakini menjadi sumber persoalan seseorang dalam hidup bermasyarakat.
Keluarga dalam kondisinya yang ideal, dalam kenyataan saat ini, berperan sentral dalam usaha pencapaian sisi kodrati anak sebagai manusia. Di luar sana, kehidupan masyarakat di dalam jejaring kapitalisme global semakin kompetitif. Kita semua dituntut menganut profesionalisme dan menganggap yang lain jika bukan kompetitor pasti lah relasi bisnis. Tidak ada empati apalagi hubungan tanpa pamrih. Solidaritas sosial dimengerti sebagai barbarisme geng motor atau tawuran primordial dan sejenisnya. Kasih tulus sesama dipandang sebagai sentimentalisme naif. Pusat-pusat pendidikan di masyarakat mengadaptasikan norma-norma kapitalisme seperti persaingan antar peserta didik (individualisme) dan penanaman kesadaran adaptif terhadap sistem dominan di antara peserta didik, yakni dalam rupa pilihan berkarir sebagai pekerja atau usahawan. Peserta didik sulit berimajinasi di luar wacana dominan kapitalisme. Peserta didik pun selanjutnya mengalami penumpulan daya kreatif dan kodrat kemanusiaannya sebagai subyek aktif pembentuk serta pengubah realitas sosial.
Peran keluarga pada akhirnya semakin penting. Di dalam keluarga anak berpeluang  memperoleh suasana solider, kooperatif, empati dan kasih tulus. Sehingga, di dalam keluarga pula anak akan memperoleh pengalaman yang menuntunnya pada pengertian akan sisi kodratinya, sejauh keluarga berada pada kondisi yang sesuai untuk itu. Kondisi yang dimaksud tersebut ditandai dengan keberadaan demokrasi di dalam keluarga, partisipasi anak dalam kegiatan rumah, dan orang tua yang menuntun. Dewasa ini, sudah menjadi kebiasaan umum orang tua memperketat jadwal belajar tambahan di luar rumah. Situasi semacam itu malah semakin membuat relevan seruan Ki Hadjar berpuluh tahun lalu: “berikan lah satu hari untuk keluarga”. Satu hari dalam satu minggu adalah kebutuhan untuk memperkuat hubungan anak dan keluarganya. Menyesuaikan kondisi keluarga dengan kebutuhan penuntunan kekuatan sisi kodrati anak berarti memperbesar peluang kelahiran manusia-manusia merdeka.


[1] Dimuat oleh harian Bali Post edisi 9 Juli 2016 dengan berbagai penyesuaian oleh penulis.

1 komentar:

  1. anak-anak dan orang tua, alias dewasa berusia tua, sama: manusia. yang tua dong, yang harusnya sudah bisa berpikir kompleks pun abstrak dan sepatutnya... ya gitu deh. salam Blog-Walking :D

    BalasHapus