A. Ideologi MEA dan Peran Sebagai Skenario Globalisasi
Neoliberal
Tulisan ini
tidak dimaksudkan sebagai kritik berbasis studi empirik berbalut pragmatisme
kebangsaan atas apa yang dikategorikan sebagai kelemahan perekonomian internal Indonesia. Tulisan ini
akan melacak substansi kritik filosofis yang dikandung Pancasila atas muatan
ideologis dari model Masyarakat Ekonomi ASEAN. Bermula dari gejala empiris, saat MEA dipandang sebagai bagian
integral proses globalisasi. James
Petras sebagaimana
teoritikus kritis lainnya, memandang globalisasi tidak dapat dipisahkan dari
konteks kesejarahan perkembangan sistem kapitalisme. Pada fase sebelum dan awal
perkembangan kapitalisme, globalisasi identik dengan kolonialisme dalam rupa
aneksasi teritorial dan penguasaan atas sumber daya ekonomi pada
negeri-negeri lemah. Perkembangan mutakhir dari kapitalisme pun membawa globalisasi pada pemaknaan baru,
yaitu neoliberalisme. Berbeda dengan teori di atas, di dalam ruang kelas, kita diajarkan
tentang globalisasi sebagai sesuatu
yang dianggap tidak terkait
dengan dialektika kekuatan-kekuatan global kecuali hanya dampak dari
perkembangan peradaban masyarakat manusia saja (dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi). Globalisasi beserta karakter intrinsiknya
dianggap netral terhadap wacana moral.
Hasrat untuk kembali pada rezim liberalisme
memperoleh momentumnya saat perekonomian kapitalis di seluruh dunia mengalami
stagnasi dan inflasi (stagflasi). Tidak mengherankan bila kemudian ekonom liberal
macam Von Hayek dan Milton Friedman melihat kesempatan untuk menghantam area
vital dari politik ekonomi bernuansa
Keynesian atau pun Sosial Demokrasi Eropa. Seperti diketahui kedua politik ekonomi
tersebut menjadi praksis perekonomian dominan di banyak negara kala itu.
Tak pelak lagi, keduanya lantas dijadikan
kambing hitam atas kemerosotan ekonomi dunia, mengingat posisi intervensionis
negara – menurut para konseptor neoliberalisme- yang mengundang hadirnya inefisiensi dalam kinerja
perekonomian. Paham neoliberalisme menaruh kecurigaan sama sekali pada negara.
Berbeda dengan liberalisme klasik yang masih membuka kemungkinan peran serta negara
dalam memfasilitasi aktivitas kapital sebaik mungkin. Negara, dengan demikian, mengacu
pada konsep neoliberalisme, harus dibatasi kekuasaanya via mekanisme demokrasi
liberal.
Sebagai reinkarnasi paham liberalisme,
neoliberalisme membawa serta pula berbagai asumsi dasar pendahulunya, tentunya dengan
dibarengi revisi atas peran negara dalam perekonomian. Asumsi tersebut di
antaranya; individualisme, kesetaraan, kebebasan dan minimalitas peran negara. Selanjutnya
berbagai asumsi di atas termanifestasikan ke dalam apa yang disebut dengan Washington Consensus yang bertumpu pada
3 pilar utama yaitu: deregulasi, privatisasi dan iberalisasi pasar. Ketiganya
kemudian dijabarkan menjadi 12 elemen berikut:
1.
Price
Decontrol : Penghapusan
kontrol atas harga komoditi, faktor produksi, dan matauang.
2.
Fiscal
Discipline : Pengurangan
defisit anggaran pemerintah atau bank sentral ke tingkat yang bisa dibiayai
tanpa memakai inflationary financing.
3.
Public
Expenditure Priorities :
Pengurangan belanja pemerintah, dan pengalihan belanja dari bidang-bidang yang
secara politis sensitif, seperti administrasi pemerintahan, pertahanan, subsidi
yang tidak terarah, dan berbagai kegiatan yang boros ke pembiayan
infrastruktur, kesehatan primer masyarakat, dan pendidikan.
4.
Tax
Reform : Perluasan basis
perpajakan, perbaikan administrasi perpajakan, mempertajam insentif bagi
pembayar pajak, pengurangan penghindaran dan manipulasi aturan pajak, dan
pengenaan pajak pada asset yang ditaruh di luar negeri.
5.
Financial
Liberalization : Tujuan
jangka-pendeknya adalah untuk menghapus pemberian tingkat bunga bank khusus
bagi peminjam istimewa dan mengenakan tingkat bunga nominal yang lebih tinggi
dari tingkat inflasi. Tujuan jangka-panjangnya adalah penciptaan tingkat bunga
bank berdasar pasar demi memperbaiki efisiensi alokasi kapital.
6.
Exchange
Rates : Untuk meningkatkan
ekspor dengan cepat, negara-negara berkembang memerlukan tingkat nilai tukar
matauang yang tunggal dan kompetitif.
7.
Trade
Liberalization : Pembatasan
perdagangan luar negeri melalui kuota (pembatasan secara kuantitatif) harus
diganti tarif (bea cukai), dan secara progresif mengurangi tarif sehingga
mencapai tingkat yang rendah dan seragam (kira-kira 10% sampai 20%).
8.
Domestic
Savings : Penerapan disiplin
fiskal/APBN, pengurangan belanja pemerintah, reformasi perpajakan, dan
liberalisasi finansial sehingga sumberdaya negara bisa dialihkan sektor-sektor
privat dengan produktivitas tinggi, dimana tingkat tabungannya tinggi. Model
pertumbuhan neo-klasik sangat menekankan pentingnya tabungan dan pembentukan
kapital bagi pembangunan ekonomi secara cepat.
9.
Foreign
Direct Investment :
Penghapusan hambatan terhadap masuknya perusahaan asing. Perusahaan asing harus
boleh bersaing dengan perusahaan nasional secara setara; tidak boleh ada
pilih-kasih.
10. Privatization : Perusahaan negara harus diswastakan.
11. Deregulation : Penghapusan peraturan yang menghalangi
masuknya perusahaan baru ke dalam suatu bidang bisnis dan yang membatasi
persaingan; kecuali kalau pertimbangan keselamatan atau perlindungan lingkungan
hidup mengharuskan pembatasan itu.
12. Property Rights : Sistem hukum yang berlaku harus bisa
menjamin perlindungan hak milik atas tanah, kapital, dan bangunan
Pada dasarnya, konsesus di atas merupakan
perluasan atas apa yang telah dijalankan sebagai politik perekonomian di
Inggris dan AS masa Thatcher dan Reagan, yang semakin mendapatkan momentumnya
pasca keruntuhan sistem ekonomi terencana model Uni Soviet. Neoliberalisme baik
sebagai mazhab maupun model kebijakan ekonomi mendapatkan legitimasi sebagai
hasil kegagalan Keynesianisme dan perekonomian komando sosialis Soviet dalam usaha keduanya alternatif bagi liberalisme. Sudah sewajarnya bila
slogan provokatif seperti There is no
alternative (TINA) terlontar dari pemikiran Thatcher.
Kemenangan neoliberalisme dalam kontestasi wacana
ekonomi dan ketersediaan peluang berdasar dinamika obyektif system kapitalisme,
berimplikasi pada pengadaptasian berbagai strategi kapitalisme global yang
telah ditempuh sebelumnya. Termasuk terhadap institusi-institusi produk konferensi
Breton Wood seperti IMF, WB dan terakhir WTO. Lembaga-lembaga internasional
tersebut yang memang sejak mula diproyeksikan sebagai bagian dari strategi
imperialisme AS mengalami pergeseran paradigme pasca berlangsungnya Kosesus
Washington. Meski ketiga lembaga tersebut (unholy
trinity) merupakan satu kesatuan dalam membangun hegemoni neoliberalisme ke
seluruh dunia. Dalam kesempatan ini, WTO memperoleh perhatian khusus karena
relevansinya dengan tema tulisan ini.
Didirikannya WTO bertujuan menjadi regulator
aktivitas perdagangan global. Guna mengisi kekosongan regulasi, hal-ikhwal
perdagangan global di antara negara-negara kapitalis mengacu pada the General Agrement On Tariffs And Trade
(GATT). Mulai pertengahan pada tahun 1960 dilakukan serangkaian putaran
perundingan perdagangan multilateral
Multilateral Trade Negotiations (MTNs) yang secara bertahap memperluas cakupan GATT dalam
kebijakan non-tariff yang lebih besar.
Tujuh putaran MTN telah dilakukan dalam kerangka GATT yaitu Putaran jenewa (1947), Putaran Annecy (1949), Putaran
Torquay (1951), Putaran Jenewa (1956),
Putaran Dillon (1960-1961), Putaran Kennedy (1964-1967),dan Putaran
tokyo (1973-1979). Lima putaran pertama
MTN membahas topik khusus mengenai
tariff. Sejak Putaran Kennedy, topik perundingan selain tarif juga
membahas tentang restriksi perdagangan
non tarif dan masalah perdagangan terkait dengan produk pertanian. Pembahasan
non tariff yang dilakukan dalam Putaran Kennedy
masih merupakan pembahasan cakupan dalam lingkup GATT. Putaran Tokyo
selain masalah tarif dan non tarif juga dibahas tentang kebijakan-kebijakan
diluar dari GATT seperti standar produk
(product standars) dan pengadaan
pemerintah (government procurement). Bertujuan menanggapi dinamika perdagangan
multilateral, GATT menyelenggarakan putaran Uruguay yang berlangsung dari
tahun 1986 hingga 1994 dengan hasil
sebagai berikut :
1. Menciptakan perdagangan bebas dunia yang akan
memberi keuntungan pada Negara-negara sedang berkembang dan perluasan pasar
ekspor melalui penghapusan hambatan-hambatan perdagangan, baik hambatan tarif maupun hambatan non-tarif.
2. Meningkatkan peran GATT dan memperbaiki
sistem perdagangan multilateral berdasar
prinsip-prinsip GATT .
3. Meningkatkan penyesuaian sistem GATT dan mempererat
hubungan GATT dengan organisasi-organisasi internasional yang relevan.
4. Mengembangkan kerjasama ekonomi nasional dan
internasional antara lain melalui perbaikan sistem keuangan
internasional dan investasi ke negara-negara sedang berkembang.
Putaran Uruguay memprakondisikan terbentuknya
WTO di tahun 1994. WTO pula yang kelak akan menyempurnakan fungsi dan kedudukan
GATT dalam kancah globalisasi neoliberal. Indonesia meratifikasi setujuan WTO
melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun1994 tentang pengesahan Agreement
Establishing The World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Ketergabungan
Indonesia dalam keanggotaan WTO berarti dipatuhinya seluruh prinsip yang dianut
dalam organisasi ini.
Kelahiran Masyarakat Ekonomi ASEAN tidak
terlepas dari dinamika globalisasi neoliberal baik pada ranah teori maupun
praktiknya. Dialektika mazhab perekonomian dan kehancuran setiap upaya
alternatif atas liberalisme dipamungkasi dengan kekalahan Uni Soviet dalam
kompetisi politik global, termasuk kemenangan mazhab neoliberalisme berikut
pembentukan WTO, menjadi musabab ekternal perancanangan kerjasama ekonomi
regional yang mengadopsi prinsip-prinsip liberalisme. Berbagai faktor dari dalam kawasan
seperti keunggulan pengaruh blok kapitalis di Asia Tenggara pasca kekalahan
kiri di Indonesia medio dasawarsa 1960-an, menjadi penentu proses
pengintegrasian kawasan melalui format ASEAN di tahun 1967. Dalam konteks
Indonesia, gejala ini mengindikasikan pergeseran politik luar negeri Indonesia
pasca pemusnahan kaum komunis ke arah
barat. Alih-alih melanjutkan pengembangan gerakan non blok, rezim Suharto malah
membangun ASEAN.
Dekade 1980-an hingga hingga tahun 1992, para pemimpin negara di
kawasan ASEAN memasuki fase intensif pembahasan rencana pengintegrasian ekonomi
kawasan. Sehingga pada KTT ke-5 ASEAN di Singapura tahun 1992 pada akhirnya
disepakati penandatanganan Framework Agreement on Enhancing ASEAN
Economic Cooperation sekaligus menandai dicanangkannya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utama. Pendirian AFTA mengharuskan pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan
hambatan-hambatan non-tarif, dan perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan
fasilitasi perdagangan.
Sepanjang dekade 1990-an ditandai dengan
penurunan kinerja perekonomian di negara-negara kawasan Asia Pasifik.
Negara-negara di kawasan ini menggunakan strategi ekonomi bercorak pembangunanisme
yang melibatkan peran negara dalam porsi yang cukup besar dalam perekonomian.
Kegagalan strategi ini berdampak pada semakin menguatnya legitimasi klaim
mazhab neoliberalisme sebagaimana telah disampaikan di atas. Padahal,
pengamatan yang cermat atas apa yang terjadi saat itu, jelas terlihat bahwa krisis moneter dapat terjadi akibat liberalisasi
keuangan yang memicu penerapan sistem kurs bebas dan berdampak pada terjadinya outflows capital. Krisis tersebut membuka kesempatan bagi institusi neoliberal
seperti IMF untuk menawarkan sepaket bantuan sekaligus resep khas neoliberal
(program penyesuaian struktural) yang berlaku imperatif.
Dalam suasana demikian berbagai agenda ASEAN
terus berlanjut, hingga, pada KTT ke-12
ASEAN di Cebu bulan Januari 2007 disepakati penandatanganan ”Declaration
on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by 2015”. Dalam konteks tersebut, para
Menteri Ekonomi ASEAN telah
menginstruksikan Sekretariat ASEAN untuk menyusun ”Cetak Biru ASEAN Economic
Community (AEC)”. Cetak Biru AEC tersebut berisi rencana kerja strategis dalam jangka pendek, menengah dan
panjang hingga tahun 2015 menuju terbentuknya integrasi ekonomi ASEAN. Rencana
tersebut meliputi paling tidak hal-hal sebagai berikut:
1. Menuju single
market dan production base (arus
perdagangan bebas untuk sektor barang,
jasa, investasi, pekerja terampil, dan modal);
2. Menuju penciptaaan kawasan regional ekonomi
yang berdaya saing tinggi (regional
competition policy, IPRs action plan, infrastructure development, ICT, energy
cooperation, taxation, dan pengembangan UKM);
3.
Menuju
suatu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata (region of equitable economic development) melalui pengembangan UKM
dan program-program Initiative for ASEAN
Integration (IAI);
4. Menuju integrasi penuh pada ekonomi global
(pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi eksternal serta mendorong
keikutsertaan dalam global supply network).
Secara mendasar
hasil deklarasi di atas memberi petunjuk adanya usaha memuluskan jalan
berlangsungnya perdagangan bebas. Langkah prospektif yang akan ditempuh kemudian adalah pengintegrasian ekonomi kawasan
yang sedang dibentuk ke dalam sistem ekonomi global (globalisasi). Berdasarkan
tinjauan teori, paling tidak terdapat lima tahap pengintegrasian; a) free trade area; b) common union; c) commom
market; d) economic union; e) economic and political integration.
Dalam bahasa berbeda, maka niatan tersebut menyiratkan komitmen pembangunan
perdagangan bebas dalam skala global.
Telah
dikemukakan di atas, fenomena globalisasi berkelindan dengan dinamika dan
bahkan didorong oleh watak inheren dari kapitalisme itu sendiri. Ditopang oleh
kekuatan produksi yang terus berkembang, kapitalisme memiliki kesanggupan
memproduksi dalam tingkat kemampuan menciptakan kondisi berkelimpahan.
Sayangnya, kemampuan demikian didampingi oleh hasrat menimbun keuntungan
sebesar mungkin yang telah mendarah daging dalam visi kapitalis. Aspirasi
kapitalis tersebut diakomodir oleh
liberalisme filosofi dalam rupa perlindungan hak milik pribadi, kedaulatan
pasar dan anarkhisme produksi. Perpaduan kesemuanya menghasilkan prinsip
distribusi kebutuhan berdasarkan tingkat daya beli masyarakat. Prinsip tersebut
mendorong terjadinya apa yang dimaksud Marx sebagai excess suply atau keberlimpahan komoditas tanpa daya beli.
Pertama-tama,
pasar komoditas perlu diperluas atau bahkan berdasarkan pengalaman praktik
kolonialisme di Indonesia, mayoritas produksi komoditas berorientasi pada
pemenuhan permintaan pasar global (tak peduli pada kebutuhan rakyat tanah
jajahan). Untuk mencapai tujuan yang dimaksud, ideolog kapitalis (para ekonom,
professor, akademisi) mempromosikan, melalui jalur intelektual dan berbagai
kesempatan propaganda lain, ide mengenai liberalisme pasar dan minimalisasi
peran negara. Pada kerangka ini, apa yang disebut dengan globalisasi termanifestasi ke dalam proses pembentukan
formasi pasar bebas hambatan pada berbagai level.
Untuk
menunjukkan keberadaan problematika ideologis pada proses globalisasi, pada
kesempatan ini dirasakan perlu mengutip pernyataan salah satu
pimpinan IMF dalam sebuah wawancara eksklusif yang menyebut ketiadaan korelasi antara ketimpangan global
dengan globalisasi. Bila pun terdapat ketimpangan semacam itu, penyebabnya
adalah faktor internal negara tersebut, seperti kompleksitas birokrasi, korupsi dan faktor-faktor lain yang
dapat memicu inefisiensi perekonomian. Kunci kemakmuran dengan demikian
terletak pada efisiensi.
Kegagalan model
perekonomian alternatif liberalisme pun diklaim akibat inefisiensi yang
diidapnya. Efisiensi, dalam anggapan kaum liberal, hanya dapat dicapai, seperti
dalam pandangan Ricardo yang mengutarakan konsep perdagangan internasional
berbasis pasar bebas, melalui aktivitas perdagangan bebas. Seperti diketahui,
secara teoritis, perdagangan bebas dianggap terutama bertumpu pada persaingan
bebas. Kondisi yang layak bagi persaingan bebas hanya mungkin terwujud apabila intervensi
negara dinihilkan. Intervensi politis melampaui porsi kebutuhan pasar hanya
akan menyebabkan distorsi. Hal tersebut perlu dihindari guna terciptanya
keseluruhan perekonomian yang efisien.
Edi Swasono berpendapat bahwa persaingan merepresentasikan pengutamaan kepentingan orang seorang (self-interest – pamrih pribadi) sebagai
ciri utama liberalisme yang melahirkan individualisme. Konsep dasar mengenai
individualisme ini bertumpu pada mimpi pencapaian kepuasan perseorangan (individual maximum satisfaction) dan keuntungan
maksimal (profit maximum). Mimpi
tersebut perlu dan dianggap hanya mungkin dicapai melalui perekonomian yang
efisien. Model MEA, seperti telah ditunjukkan pada bagian sebelumnya,
mengadopsi sepenuhnya elemen-elemen liberalisme (baca: neoliberalisme). Kendati
dalih yang dipergunakan bahwa penerapan MEA adalah dalam rangka penguatan kerja
sama regional. Tetap saja nuansa persaingan diindikasikan oleh sikap para
pebisnis yang akan menjadi pemain utama di dalamnya. Misalnya saja ungkapan
mengenai posisi Thailand sebagai negara kompetitor terberat dari Indonesia. MEA
dengan demikian menganut ideologi liberalisme.
B. Kembali Pada Ideologi Pancasila (Penelusuran
Atas Semangat Pancasila 1 Juni)
Sementara pihak
memandang integrasi ekonomi dalam skala global adalah keniscayaan sejarah.
Pertautan bangsa-bangsa dalam sebuah skema perdagangan internasional telah
dimulai sejak teknik pelayaran dan navigasi mulai tumbuh. Dewasa ini, semakin dimungkinkan oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sekat dan batasan teritorial serta
politik pun tidak lagi berarti, dunia semakin menyatu. Globalisasi karenanya dipandang
sebagai fenomena alami. Apa yang terjadi sebenarnya adalah globalisasi menjadi
modus penguasaan negeri-negeri
berkembang dalam pengonsentrasian nilai
produksi masyarakat di seluruh negeri tersebut oleh perusahaan-perusahaan transnasional-multinasional dalam bentuk penyatuan modal bank, finansial dan
produksi.
Mengantisipasi fenomena di atas, Pancasila dari
mula perumusannya hingga ditetapkan sebagai dasar dari negara Indonesia
merdeka, mencantumkan di dalam dirinya rumusan sila yang mengacu pada prinsip
internasionalisme. Prinsip ini didasari dan bersumber pada nilai-nilai
kemanusiaan yang tak mengenal batas negara bangsa, identitas sosial-politik dan
bahkan klas sosial. Sekilas nampak Pancasila –yang berpegang pada prinsip
internasionalisme- dapat menerima gagasan mendasar penerapan globalisasi
neoliberal, yaitu penghilangan batas-batas negara bangsa yang dianggap dapat
menghambat laju internasionalisasi modal.
Untuk ini perlu
dilakukan klarifikasi terang atas klaim “keseakan-akanan” tersebut sehingga
memperjelas apakah proses globalisasi berbasis neoliberalisme identik dengan
internasionalisme yang dimaksud di dalam Pancasila atau tidak. Untuk diketahui, Pancasila lahir dalam
suasana perjuangan menentang kolonialisme. Di mana kelahirannya itu dimaksudkan
sebagai –meminjam bahasa Bung Karno- “Philosofische grondslag
itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa hasrat yang
sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal
dan abadi”. Sebagai landasan fondasional dari sebuah negara yang merdeka –predikat
merdeka dalam konteks ini memiliki signifikansi tertentu -Pancasila memuat
nilai-nilai dasar kemerdekaan dan menjadi antitesa bagi ideologi kolonialisme
yang ditentangnya. Di samping mengemban status ideologi kemerdekaan, Pancasila
pun sebagaimana BK mensyaratkan, memperoleh perannya sebagai pemersatu dan arah
perjuangan bangsa.
Kedudukan demikian
selanjutnya menjiwai dan terjabarkan ke dalam rumusan sila-sila Pancasila. Sila
kebangsaan atau yang di dalam pembukaan UUD 1945 dirumuskan sebagai sila
persatuan Indonesia, mengisyaratkan signifikansi bangsa sebagai lingkup
keberdirian negara. Negara Indonesia merdeka adalah negara bangsa dan bersatu
atas nama bangsa, persatuan lebih mungkin diterapkan dalam kerangka kebangsaan
akibat sifatnya yang independen terhadap kategori etnisitas, keagamaan atau pun
penggolongan lainnya yang ada dalam masyarakat. Sehingga bila diekstraksi
prihal kebangsaan ini akan menghasilkan saripati dari pada persatuan Indonesia.
Prinsip
kemanusiaan mengimbangi dasar kebangsaan dari Pancasila guna mencegah
terjadinya kemerosotan atas apa yang dipahami sebagai rasa kebangsaan menjadi
sekedar chauvinisme seperti yang menjangkiti, misalnya, fasisme. perkawinan
atas kedua prinsip tersebut lantas menghasilkan rumusan dialektis yang oleh BK
diberi nama sosio-nasionalisme. Paham kebangsaan yang mengakar pada realitas
kemasyarakatan (masyarakat berklas dan keberadaan penindasan kapitalisme di dalamnya),
memperhatikan keberesan tidak hanya perkara politik semata melainkan pula
persoalan-persoalan ekonomi bangsa. Konsepsionalisasi semacam ini kelak akan
memberi dasar bagi perumusan konsep Tri Sakti oleh BK yang menyiratkan, paling
tidak dalam konteks hubungan antar bangsa, pandangan tentang keharusan adanya
kedaulatan nasional dalam aspek politik dan kemandirian di bidang ekonomi.
Kedaulatan dan kemandirian memberikan basis bagi paradigma kebangsaan yang
berperi-kemanusiaan.
Prinsip
berikutnya dari Pancasila berturut-turut dan saling terkait adalah prihal
kerakyatan dan kesejahteraan (keadilan) sosial. Keterkaitan keduanya
menghasilkan apa yang disebut dengan sosio-demokrasi, demokrasi sosial.
Demokrasi yang berangkat dari kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Penekanan
pada aspek kemasyarakatan berarti bahwa konsep demokrasi yang tercantum dalam
Pancasila tidak diturunkan dari pemikiran abstrak apalagi spekulasi filosofi
tertentu. Sebagaimana pengertiannya dalam kelaziman, demokrasi tetap merupakan
manifestasi rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi atas negara dan isinya.
Digali dari praktik demokratis masyarakat pedesaan tempo dulu, gagasan
kerakyatan dilekati oleh prinsip permusyawaratan (untuk mufakat) dalam
operasionalisasinya. Keterbedaan atas apa yang disebut oleh BK dan Hatta
sebagai demokrasi barat yang berinti pada individualisme telah ditetapkan,
demokrasi menurut Pancasila adalah demokrasi bersemangat kolektif.
Individualisme
yang menjiwai demokrasi barat didasari oleh pengutamaan keselarasan praktik
demokrasi (persamaan politik) dengan prinsip kebebasan individu. Artinya
adalah, persamaan di bidang politik tidak diperkenankan bertentangan dengan
kebebasan individu, khususnya aspek kepemilikan di wilayah ekonomi. Sehingga,
dalam ekonomi anggota masyarakat mungkin dan boleh untuk tidak setara asal itu
tidak menentang kebebasan individu. Paradigma liberalistik pada bidang politik
dan praktik free fight liberalism di
bidang ekonomi ini lah yang ditentang habis-habisan oleh para pendiri bangsa.
Wacana penentangan tersebut terkristal di dalam konsep demokrasi sosial
(sosio-demokrasi) yang pada pokoknya bersumber pada ekses liberalisasi dan
eksploitasi kapitalis atas rakyat marhaen dalam rupa ketimpangan sosial.
Persamaan politik akan berwatak ilusif bila tidak dibarengi dengan kepemilikan
oleh rakyat (kolektif) atas berbagai sumber daya ekonomi. Sehingga, demokrasi
sosial adalah rakyat berdaulat tidak hanya dalam bidang politik tapi juga di
bidang ekonomi.
Mengikuti alur
pikir BK dalam pidato 1 Juni 1945, dilengkapi oleh prinsip ketuhanan dua konsep
di atas (sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi) diberi nama trisila. Beragam
prinsip di atas yang, sebagaimana secara implisit mengemuka dalam pemaparan BK,
berwatak kontradiktif antara satu dengan lainnya (misalnya kebangsaan kontra
kemanusiaan), pada dasarnya dijiwai oleh prinsip yang sama, yaitu gotong
royong. Itu lah bila dicermati baik dalam sosio-nasionalisme maupun
sosio-demokrasi, maka kedua konsep tersebut jelas terlihat dilekati aspek
kemasyarakatan yang membuatnya memiliki watak kolektivistik alih-alih
individualis. Prinsip gotong royong pula yang lebih sesuai dengan spirit
persatuan yang terkandung dalam Pancasila sebagai wadah pemersatu. Sehingga
dengan berperan sebagai dasar dinamik dari sistem kenegaraan, Pancasila dalam
memberi arah bagi perjuangan bangsa telah meletakkan pula prinsip dasar yang
menjadi metode perjuangan, yaitu persatuan dari seluruh bangsa dan gotong
royong.
C. MEA Bertentangan dengan Pancasila dan Wacana
Alternatif atas MEA
Karakteristik
Pancasila sebagai antitesa atas ideologi penjajahan didasari oleh prinsip
paling elementer yang menjiwai seluruh sila, yaitu gotong royong. Sehingga,
Pancasila secara mendasar berwatak kolektivistik. MEA, lazimnya skema
regionalisme derivatif konsesus Washington, mendasarkan seluruh hasil berbagai
konferensi internasional (termasuk pembentukan MEE dan WTO) pada upaya
memuluskan jalannya persaingan bebas di antara kekuatan ekonomi global. Tidak
masalah seberapa besar perimbangan kekuatan di antara mereka. Sebagaimana
uraian di atas, prinsip persaingan bebas merepresentasikan aspirasi kepentingan
diri yang jelas-jelas berwatak individualis. MEA, dengan demikian, berdasar
pada individualisme sebagai prinsip paling elementer dari seluruh aspek-aspek
yang disepakati dalam Deklarasi Cebu.
Penggunaan dasar liberalisme filosofi berujung
pada penerapan atas doktrin liberalisme ekonomi berusia ratusan tahun itu.
Pengintegrasian pasar bersama dalam skema perdagangan bebas adalah anjuran yang senada
disarankan Ricardo, bahwa perdagangan bebas antar bangsa merupakan landasan
paling ideal hubungan ekonomi antar negara. Dinyatakan demikian karena
diasumsikan dapat mempersatukan berbagai bangsa di seantero jagad ke dalam satu
ikatan (single market). Sehingga,
hubungan di antara negara akan menjadi efektif dan efisien yang dideskripsikan
sebagai parameter yang identik dengan kebebasan. Kembali, pada area normatif,
terjadi pertentangan antara prinsip gotong royong Pancasila yang berwatak
kolektivistik dengan muatan liberalistik dalam konsep MEA.
Asumsi demikian didasari
oleh implikasi politik yang mengikuti penerapan konsep perdagangan bebas, yakni
minimalisasi peran negara – yang dalam banyak kasus- hingga pada batas
perlindungan atas hak-hak individu dan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya
berbagai faktor distorsi pasar. Pembatasan peran negara tersebut, secara
politik, bermakna pengangkangan atas kedaulatan bangsa yang seharusnya menjadi
salah satu penunjang terwujudnya penguatan infrastruktur ekonomi sebagai basis
kemandirian bangsa. Maka, dalam hal ini, konsep MEA telah menentang prinsip
kebangsaan sekaligus sosio-nasionalisme (Tri Sakti). Pada dasarnya telah
terjadi pengalihan kedaulatan dari daulat bangsa, dalam konteks hubungan antar
bangsa, dan daulat rakyat, dalam konteks domestik, kepada daulat pasar. Apa
yang disebut pasar di sini, mengutip Edi Swasono, adalah beragam kekuatan pasar
yang termanifestasi dalam wujud perusahaan trans-multinasional, kekuatan
finansial global, negara-negara induk imperialis, lembaga-lembaga internasional
yang menunjang terealisasinya globalisasi neoliberal.
Mimpi indah
tentang pemerataan pembangunan ekonomi regional kembali dibawa dalam konsep
MEA, setelah promosi prospek penyebaran aset yang konon katanya inheren dalam
proses globalisasi, kemudian terbantah secara empiris oleh fakta ketimpangan
global dan terkonsentrasinya akumulasi kekayaan masyarakat ke tangan minoritas
kekuatan pasar dalam rupa berbagai perusahaan multinasional. Data yang dilansir oleh Anup Shah menyebutkan setidaknya 25
persen aset dunia pada tahun 2004
dikontrol oleh 0,13 persen penduduk dunia.
Ketimpangan
dapat terjadi dalam sistem perekonomian pasar kapitalis karena sistem ini abai
terhadap fakta perimbangan beragam kekuatan pasar yang sama sekali tidak dalam
kondisi setimbang. Di saat bersamaan, diskriminasi kekuatan yang menghasilkan
kebijakan proteksionis berarti memicu kemungkinan terjadinya penguatan peran
negara. Sehingga bila konsep liberalisme diterapkan secara konsisten sama saja
berarti membiarkan berlangsungnya perkelahian di antara berbagai kekuatan yang
tak seimbang. Namun, demikian lah persaingan bebas, bila terdapat pihak
terlindungi maka kebebasan menjadi terbatalkan dan itu berarti menentang salah
satu pokok liberalisme filosofi, kebebasan individu, dan secara tidak langsung
menyerang individualisme itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, apa yang dimaksud sebagai
internasionalisasi kapital via globalisasi neoliberal (baca: MEA) sama sekali
tidak identik dengan prinsip internasionalisme Pancasila (sila kemanusiaan).
Hal ini dapat dimengerti dalam dua hal, pertama, internasionalisme Pancasila menentang
MEA karena perbedaan prinsip elementer yang dianut keduanya. Pancasila berwatak
kolektivistik dan mengacu pada nilai kemanusiaan sosial (sosio-nasionalisme),
hal ini berarti dalam kerangka Pancasila sebagai ideologi anti penjajahan,
nilai kemanusiaan yang dimaksud adalah prinsip anti penindasan manusia atas
manusia dan bangsa atas bangsa. Dalam khasanah pemikiran BK, prinsip
internasionalisme memang tidak terpisah dari konsep kebangsaan yang
diintroduksinya. Ia menyatakan: “Kita
bukan saja harus mendirikan negara Indoneia Merdeka tetapi kita harus menuju
pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Kita harus menuju persatuan dunia,
persaudaraan dunia.”
Pernyataan BK di atas memperjelas cita-cita internasionalisme Pancasila
yang dilandasi oleh nilai-nilai kekeluargaan dan persaudaraan. Pemikiran BK
tentang sosio-nasionalis sejak masa pergerakan nasional telah senantiasa konsisten diperjuangkan hingga
tertuang dalam rumusan Pancasila. Dalam artikel berjudul “Sekali Lagi Tentang
Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi”, BK menegaskan jika sosio-nasionalisme
dapat dipergunakan sebagai senjata ideologis klas pekerja dalam melawan
imperialisme. Hal ini semakin memandu kita ke arah karakter sejati semangat
pemikiran di balik rumusan formal Pancasila. Semangat demikian selanjutnya
dirangkai ke dalam prinsip gotong royong yang menjiwai keseluruhan sila.
Bertolak belakang dengan liberalisme ekonomi yang dianut MEA, di mana dasar
asumsi yang dipergunakan adalah individualisme dan persaingan tanpa ampun.
Kedua, prinsip internasionalisme atau kemanusiaan Pancasila mengkonfirmasi
(baca: mengantisipasi) ketepatan pemikiran yang memprakondisikan rumusan formal
Pancasila. BK di tahun 1959 dalam sebuah kesempatan memaparkan sila kemanusiaan
di dalam forum kursus Pancasila, telah mencermati gejala semakin menghilangnya
sekat-sekat pembatas antar negara bangsa. Sebagaimana telah disebutkan pada
bagian sebelumnya, pengintegrasian masyarakat bangsa-bangsa secara global
memang telah dimungkinkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Persoalannya kemudian, proses tersebut berkelindan dengan perkembangan
kapitalisme global. Sehingga, proses globalisasi bukan lagi sebuah proses yang
netral, ia telah bersenyawa dengan internasionalisasi kapital melalui skenario
neoliberalisme. Internasionalisme Pancasila menentang watak kapitalistik dan
ideologi neoliberalisme yang dianut oleh globalisasi. Namun dalam waktu
bersamaan, di dalam dirinya, Pancasila telah mengantisipasi geala tersebut
dengan mencantumkan prinsip internasionalisme berbasis kemanusiaan sosial. Ini
yang membuat Pancasila tidak berada dalam posisi menentang
kemungkinan-kemungkinan globalisasi sebagai implikasi perkembangan peradaban
pengetahuan umat manusia.
Mempertimbangkan hal tersebut di atas, secara mendasar prinsip kemanusiaan
atau internasionalisme mengarahkan pada pengontruksian suatu model kerjasama
internasional yang sepenuhnya berbeda secara diametrial dengan apa yang digagas
dalam skema MEA atau berbagai bentuk pasar bebas kapitalis yang telah
diterapkan di banyak kawasan. Berdasarkan pada berbagai prinsip yang terkandung
di dalam rumusan sila-sila Pancasila. Cita-cita kekeluargaan antar bangsa yang
implisit di dalam sila kebangsaan (persatuan Indonesia) dan kemanusiaan
(internasionalisme) meletakkan paradigma kerjasama internasional berbasis
solidaritas kemanusiaan, berkarakter anti liberalisme dan dijiwai gotong royong
antar bangsa. Kerja sama semacam ini sebenarnya telah dirintis oleh bangsa
Indonesi pada masa pemerintahan mendiang Bung Karno dengan mensponsori
–bersama-semata negara pelopor lainnya- konferensi internasional di antara
bangsa-bangsa Asia-Afrika yang mayoritas merupakan negara bekas jajahan dan
bahkan ada yang masih dalam status terjajah. Hubungan demikian masih berada
dalam kerangka politik, namun setidaknya telah menjadi petunjuk bahwa kerja
sama yang sepenuhnya berbasis solidaritas antar bangsa adalah mungkin dan
berdampak signifikan bagi hubungan bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Dewasa ini, semangat tersebut diwarisi oleh negara-negara Amerika Latin dan kawasan Karibia yang berinisiatif membentuk
apa yang mereka namakan sebagai the
Bolivarian Alternative for Latin an Carribean . Zambrano,
Sekretaris Jendral ALBA, dalam suatu kesempatan wawancara menegaskan bahwa ALBA
memang dirancang sebagai: “struktur baru dengan partisipasi sosial, tidak
mengizinkan eksploitasi terhadap manusia dan bebas dari spekulasi keuangan.”
Ditegaskan pula bahwa ALBA adalah komitmen bagi negara-negara yang tergabung di
dalamnya untuk membuat suatu pemisahan radikal atas pranata ekonomi
neoliberalisme, sekaligus pula memprakondisikan kedaulatan nasional dan ekonomi
dalam rangka menghilangkan kebergantungan terhadap model perdagangan khas WTO.
Meninggalkan orientasi primitif kapitalisme, yakni akumulasi profit dan
mengarahkan perdagangan pada prioritas pemenuhan kebutuhan domestik.
Program rintisan yang telah dikembangkan di antaranya adalah; proyek grandnasional
dan perusahaan bersama; Sistem Tunggal
Pembayaran Kompensasi Regional (sucre) sebagai mata uang
bersama untuk menghindari dominasi dollar AS dan manipulasi valuta asing; dan
pembentukan Bank ALBA guna menerobos hegemoni Bank Dunia dan memberi dukungan
ekonomi pada proyek regional yang berorientasi kerakyatan dan pembangunan
sosial di level kawasan. Pesannya sangat jelas, membantah kerasnya kepala besi
Thatcher bahwa alternatif itu ada dan itu telah dirintis tepat di halaman
belakang negara induk imperialis AS. Pancasila sebagai ideologi sekaligus arah
perjuangan bangsa pun secara implisit mengandung di dalamnya sebuah kehendak
terbangunnya suatu model alternatif atas perekonomian pasar kapitalis dan
berbagai bentuk pasar bebas, di mana MEA adalah salah satunya. Pada akhirnya,
Pancasila menentang MEA dan sepenuhnya mendukung model alternatif atas MEA
serta seluruh manifestasi globalisasi neoliberal di seantero bumi manusia.
Referensi
Awalil
Rizky dan Nasyith Majidi, 2008, Neoliberalisme
Mencengkram Indonesia, E. Publishing, Jakarta.
David Harvey, 2008, Neoliberalisme
dan Restorasi Klas Kapitalis, Resist Book, Yogyakarta.
Dian Triansyah Djani, 2008, ASEAN Selayang Pandang, Direktur
Jenderal Kerjasama ASEAN, Jakarta.
James Petras dan Henry Veltmeyer, 2014, Menelanjangi Globalisasi: Sepak terjang Imperialisme di Abad 21,
Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Karl
Marx, 2007, Kapital III (Proses Produksi
Kapitalis Secara Menyeluruh), Hasta Mitra, Jakarta.
Mochtar Mas’oed, 1997, Ekonomi
Politik Internasional, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM,
Yogyakarta.
Mochtar Mas’oed, 1994, Negara, Kapital
dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Paul A. Samuelson & Peter Timmer, 1976, Economics, Mc.Graw Hill,
Kogakusha.
Sri-Edi Swasono, 2013, Menjadi Tuan di Negeri Sendiri:
Pendekatan Teoritis-Akademis dan Ideologi, UST Press, Yogyakarta
Sukarno, 2005, Di
Bawah Bendera Revolusi, Yayasan Bung Karno, Jakarta.
Sukarno,
1959, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Yayasan Prapanca, Jakarta.
Sukarno, 1945, Pidato
Pancasila 1 Juni.