Selasa, 03 November 2015

UJARAN KEBENCIAN DAN PROBLEM PENEGAKAN HAM[1]



Topik tentang ujaran kebencian ramai dibicarakan belakangan ini. Bermula dari keluarnya Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) pada 8 Oktober 2015. Surat edaran ini pada dasarnya ditujukan bagi kalangan internal dan merupakan tindakan afirmatif atas berbagai peraturan perundang-undangan yang ada seperti KHUP, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Selanjutnya apa yang dimengerti sebagai ujaran kebencian menurut SE Kapolri termanifestasi ke dalam bentuk-bentuk seperti penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas yang memiliki tujuan atau dapat berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan/atau konflik sosial, serta menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang terbedakan berdasarkan aspek suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual.

Sehingga, poin krusial surat edaran di atas sebenarnya inheren di dalam berbagai peraturan yang dijadikan rujukan, dan telah sejak lama dipersoalkan sejumlah pihak karena dianggap kontraproduktif terhadap proses demokratisasi yang tengah berlangsung. Demokrasi karenanya  menjadi wacana sentral dalam isu SE Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian.

Secara tradisional, menurut Tocqueville, gagasan mengenai demokrasi mencakup kebebasan dan persamaan sebagai elemennya. Elemen kebebasan sendiri, menurut Diamond, dapat dibedakan menjadi kebebasan sipil dan politik yang mewujud pada konsep HAM generasi pertama yang meliputi hak-hak sipil dan politik. Prinsip kebebasan tidak terlepas dari konteks historis kemenangan gagasan demokrasi dalam periode revolusi Perancis dan sederet kekalahan raja diInggris dalam berbagai perang saudara. Revolusi Perancis seperti yang diketahui, telah meruntuhkan struktur masyarakat feodal beserta formasi politik monarkhisnya yang absolutis. Segera setelah itu tumbuh berbagai gagasan yang konon diresapi oleh prinsip kebebasan (demokrasi), ide negara hukum dan konstitusionalisme di lapangan ketatanegaraan, trias politika pada bidang tata pemerintahan, HAM pada bidang politik kenegaraan dan laissez faire/liberalisme (kapitalisme) pada aspek ekonomi.

Terdapat benang merah yang mengindikasikan kesamaan sumber ide dari masing-masing gagasan di atas. Tiap-tiap gagasan tersebut mengandaikan pembatasan terhadap kekuasaan negara. Negara beserta aparaturnya apabila terlalu berkuasa diyakini akan mengancam kebebasan individu (di bidang sosial politik dan ekonomi) dan dengan demikian merupakan ancaman bagi demokrasi itu sendiri. Pembesaran kekuasaan negara pun karenanya berpotensi melanggar HAM. Perspektif ini yang selanjutnya dipergunakan dalam menyusun dokumen Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Jenis-jenis hak yang terhimpun dalam kovenan berkaitan dengan di antaranya persoalan diskriminasi rasial, agama, kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum, berserikat dan lain-lain. Hak-hak tersebut terkategori sebagai hak negatif yang berarti terdapat minimalisasi peran negara dalam ruang pribadi, hak-hak individu bersifat otonom dan dibebaskan dari campur tangan pihak manapun termasuk individu lain.

Di Indonesia, konstitusi mengadopsi gagasan HAM secara keseluruhan, hak-hak sipil dan politik warga memperoleh jaminan selama tidak menabrak hak dan kebebasan individu lain. Artinya konstitusi memberi kemungkinan pula bagi pembatasan implementasi HAM melalui undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketetiban umum (Pasal 28 J ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945). Pada titik ini terminologi ujaran kebencian memperoleh pemaknaan konstitusional, yaitu setiap tindakan baik lisan maupun tertulis yang berpotensi melanggar hak dan kebebasan individu atau kelompok lain.

Selama apa yang dimengerti sebagai ujaran kebencian dalam SE Kapolri tersebut adalah dalam rangka perlindungan relasi kebebasan tiap-tiap warga sebagaimana yang dimaksud konstitusi, tentu bukan soal. Persoalan akan mengemuka saat pihak kepolisian dalam menjalankan tugasnya justru merepresentasikan perluasan kekuatan aparatus represif. Dimisalkan dalam aspek prosedur formil pelaksanaan SE ini, personel kepolisian melakukan pengawasan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tindakan ini berpotensi menimbulkan suasana kecemasan di kalangan warga dalam menunaikan hak-hak konstitusionalnya. Bahkan Andi Arief, tokoh demokrasi, mensinyalir bahwa pendekatan tersebut memiliki kemiripan dengan cara-cara yang dipergunakan rezim Orde Baru dalam mengontrol aktivitas warganya.

Persoalan selanjutnya terletak pada dasar hukum dari SE tersebut, terutama yang berkaitan dengan pasal penghinaan dan pencemaran nama baik. Menurut Herlambang Perdana Wiratman, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, pada 2014 sebanyak 50 negara melakukan dekriminalisasi atau penghapusan atas delik defamasi (pencemaran nama baik) dari sistem hukum negaranya. Demikian halnya dengan PBB yang telah merekomendasikan penghapusan atas ketentuan tersebut. Penghapusan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan demokrasi saat ini. Hal ini dikonfirmasi oleh hasil penelitian Inter-American Commision on Human Right yang mencatat dalam Report on the compatibility of desacota laws with the American Convention on Human Rights yang menyebut bahwa hukuman pidana akan menjadi efek yang menakutkan dalam kemerdekaan berekspresi. Ini mengingatkan kita pula pada Prita Mulyasari yang sempat mengalami efek traumatis terhadap e-mail pasca penetapannya sebagai tersangka.

Kita tentu mendambakan demokrasi sehat yang tidak meminggirkan sebagian masyarakat melalui wacana kebencian sehingga hak dan kebebasannya sebagai warga negara terenggut. Namun, pemegang kuasa (negara/pemerintahan dalam arti luas) pun sudah seharusnya memikirkan pendekatan alternatif di luar pemidanaan untuk memastikan seluruh warga  menikmati hak dan kebebasannya tanpa gangguan. Melalui perluasan ruang demokrasi misalnya atau aksi-aksi edukatif sehingga tidak melulu penyehatan demokrasi dilakukan lewat ancaman maupun represi.






[1]Opini ini ditulis berdasarkan tinjauan normatif atas isu SE Kapolri tentang Penangan Ujaran Kebencian oleh Dewa Putu Adi Wibawa, SH. Pernah dimuat pada harian Bali Post Edisi 4 November 2015. Website: Bali Post

Minggu, 01 November 2015

(Mem)bela Negara Berkedaulatan Rakyat dan Pancasila[1]

Rencana implementasi program bela negara menuai kontroversi. Bagi para pendukungnya, program bela negara diyakini mampu mengkonstruksi semangat nasionalisme yang dianggap terdesak oleh dinamika global. Di satu pihak, pihak penentang mengelompok secara heterogen, yakni sebagian menjadi penentang bersyarat dan sebagain yang lain merupakan pihak yang menentang tanpa syarat. Persyaratan umumnya menyangkut kriteria teknis kelembagaan dan politik anggaran. Didasari keyakinan yang sama dengan kelompok pendukung, keberatan yang diajukan pun tidak menyentuh subtansi persoalan bahwa implementasi program bela negara sendiri memiliki permasalahan intrinsik. Para penentang tanpa syarat pada dasarnya mengajukan suatu kritik substantif. Substansi yang dipersoalkan mencakup isu yang cukup luas, dimulai dari indikasi upaya militerisasi sipil, potensi pelanggaran HAM dan  sampai pada landasan situasional kemendesakan hingga program ini perlu dengan segera diimplementasikan.

Penulis mengupayakan elaborasi atas wacana konstitusionalitas konsep bela negara dan relevansinya dengan dasar filosofi negara sebagaimana dimaksud para bapak bangsa. Dasar konstitusional program bela negara dapat ditemukan pada Pasal 27 Ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 yang menentukan hak dan kewajiban warga negara untuk turut serta dalam membela negara. Warga negara dengan demikian oleh konstitusi diwajibkan berpartisipasi di dalam setiap upaya pembelaan atas negara, dan oleh karena elemen kunci diskursus bela negara terletak pada negara itu sendiri, maka perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud oleh konstitusi sebagai negara.

Apa itu negara tidak dapat dengan mudah ditemukan dalam naskah konstitusi, tidak ada suatu rumusan eksplisit layaknya yang terdapat dalam bagian ketentuan umum suatu regulasi. Sehingga, perlu pembacaan sistematik atas keseluruhan bagian konstitusi. Muqadimmah (pembukaan) konstitusi menguraikan alasan penyusunan undang-undang dasar  negara Indonesia yang disebutkan bermuasal dari usaha pemenuhan tujuan dari pembentukan suatu pemerintah negara Indonesia itu sendiri sekaligus manifestasi atas kemerdekaan bangsa. Tujuan yang dimaksud terdiri dari 4 rumusan tujuan yang terkenal itu; pertama, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; kedua, memajukan kesejahteraan umum; ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa; dan keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Singkatnya, sebagaimana maksud pembukaan, segala usaha mencapai tujuan di atas pada tahap selanjutnya diorganisasikan dalam bentuk susunan negara Republik Indonesia. Negara yang bagaimana? Negara yang berkedaulatan rakyat dengan dasar Pancasila. 

Pembicaraan mengenai negara dalam konteks konstitusi, dengan demikian, melibatkan unsur-unsur seperti: paradigma anti penjajahan (lihat paragraf awal pembukaan), kemerdekaan, perjuangan kemerdekaan, tujuan negara Indonesia merdeka, kedaulatan rakyat dan Pancasila. Perspektif  Bung Karno (BK) sangat relevan untuk meninjau persoalan ini. Secara teoritis, BK memulai kajiannya, negara merupakan organisasi kekuasaan atau dengan kata lain kekuasaan yang terorganisasikan sedemikian rupa sehingga pemegang kekuasaan dapat meraih tujuannya melalui keberadaan negara tersebut. Sebagai misal negara Hindia Belanda pra kemerdekaan, tuan kolonial berlaku sebagai penguasa yang menggunakan instrumen negara untuk menjalankan praktik penghisapan dalam rupa modus kolonialisme  yang kemudian berlanjut dengan kapitalisme-kolonial. Tingkah dan laku negara Hindia Belanda niscaya mengekspresikan tujuan pihak penguasa.

Pendirian Negara Republik Indonesia pertama-tama dimaksudkan untuk menegasi keberadaan negara kolonial atau bentuk penjajahan lainnya, penekanan ini diafirmasi oleh para pendiri bangsa di dalam pembukaan konstitusi dengan penegasan bahwa “...kemerdekaan ialah hak segala bangsa...” dan sebab itu perlu ”..dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusia dan pri keadilan.” Penegasan semacam itu selaras dengan pandangan BK bahwa Negara Indonesia Merdeka adalah organisasi-nya bangsa Indonesia yang berhasil merebut kekuasaan dari kontrol kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang. Disebutkannya pula bahwa berdirinya Negara Republik Indonesia, bangsa Indonesia berada pada fase perjuangan lebih tinggi dibanding sebelumnya. Disebut lebih tinggi karena bangsa Indonesia telah memasuki medan pertempuran baru, yakni menemukan dan mengatasi sumber persoalan bangsa. Negara Republik Indonesia lantas dipandang sebagai alat perjuangan yang lebih maju dibanding  dengan partai politik atau organisasi massa yang dipergunakan bangsa Indonesia pada saat melawan kolonialisme Belanda.
Jejak paradigma tersebut dapat dengan mudah diketemukan dalam naskah konstitusi kita, terutama sekali bagian pembukaan yang selanjutnya dijabar ke dalam rumusan pasal-pasal. Tujuan utama pendirian negara, telah disampaikan di muka, dapat dijumpai dalam alinea keempat pembukaan. Negara yang akan dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut adalah negara berkedaulatan rakyat dengan dasar Pancasila. Dasar-dasar yang dicakup dalam Pancasila sendiri terdiri dari berbagai prinsip.

Apabila dibandingkan dengan wacana yang berkembang di beberapa kalangan, apa yang dikehendaki konstitusi sebagai pembelaan atas negara seakan direduksi semata-mata ke dalam persoalan nasionalisme semata. Padahal telah jelas bahwa negara yang dimaksud konstitusi yang warganya berhak sekaligus wajib membela adalah negara berkedaulatan rakyat berdasar Pancasila. Menggunakan nalar pendiri bangsa, pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi atas negara adalah rakyat Indonesia. Pancasila sebagai dasar pun tidak hanya mengandung prinsip nasionalisme semata, terdapat prinsip-prinsip lain yang bertalian secara dialektis satu sama lain di dalamnya. Ini berarti bahwa konsep bela negara tidak semata-mata ditujukan pada pembelaan atas negara sebagai negara, melainkan negara sebagai organisasi-nya rakyat atau dengan kata lain membela rakyat itu sendiri.

Opini penulis akan ditutup dengan pertanyaan berikut:  “apakah bela negara hanya bermakna perlawanan atas agresi asing?”. “Apakah bela negara bertujuan untuk menciptakan stabilitas politik?”. “Apakah mogok kerja yang dilakukan karyawan bukan termasuk bela negara?”.”Aksi mahasiswa menentang UU Sisdiknas, kenaikan tarif dasar listrik atau privatisasi BUMN tidak dapat digolongkan sebagai tindakan bela negara atau malah dianggap sebaliknya?”. Jawabannya tersedia alam pemahaman yang jernih bahwa negara bukan berhala yang harus disembah-sembah. Negara berdiri untuk kepentingan rakyat (berkedaulatan rakyat) serta rakyat membela negara karena negara ada untuk rakyat dan bukan sebaliknya.


[1] Dimuat pada harian Bali Post edisi 24 Oktober 2015/http://balipost.realviewdigital.com/?iid=130690&startpage=page0000006

Senin, 22 Juni 2015

PANCASILA MENOLAK MEA!

A. Ideologi MEA dan Peran Sebagai Skenario Globalisasi Neoliberal
Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai kritik berbasis studi empirik berbalut pragmatisme kebangsaan atas apa yang dikategorikan sebagai kelemahan  perekonomian internal Indonesia. Tulisan ini akan melacak substansi kritik filosofis yang dikandung Pancasila atas muatan ideologis dari model Masyarakat Ekonomi ASEAN. Bermula dari gejala empiris, saat MEA dipandang sebagai bagian integral proses globalisasi.  James Petras sebagaimana teoritikus kritis lainnya, memandang globalisasi tidak dapat dipisahkan dari konteks kesejarahan perkembangan sistem kapitalisme. Pada fase sebelum dan awal perkembangan kapitalisme, globalisasi identik dengan kolonialisme dalam rupa aneksasi teritorial  dan penguasaan atas sumber daya ekonomi pada negeri-negeri lemah. Perkembangan mutakhir dari kapitalisme pun membawa globalisasi pada pemaknaan baru, yaitu neoliberalisme. Berbeda dengan teori di atas, di dalam ruang kelas, kita diajarkan tentang globalisasi sebagai sesuatu yang dianggap tidak terkait dengan dialektika kekuatan-kekuatan global kecuali hanya dampak dari perkembangan peradaban masyarakat manusia saja (dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi). Globalisasi beserta karakter intrinsiknya dianggap netral terhadap wacana moral.
Hasrat untuk kembali pada rezim liberalisme memperoleh momentumnya saat perekonomian kapitalis di seluruh dunia mengalami stagnasi dan inflasi (stagflasi). Tidak mengherankan bila kemudian ekonom liberal macam Von Hayek dan Milton Friedman melihat kesempatan untuk menghantam area vital dari  politik ekonomi bernuansa Keynesian atau pun Sosial Demokrasi Eropa.  Seperti diketahui kedua politik ekonomi tersebut menjadi praksis perekonomian dominan di banyak negara kala itu.  
Tak pelak lagi, keduanya lantas dijadikan kambing hitam atas kemerosotan ekonomi dunia, mengingat posisi intervensionis negara – menurut para konseptor neoliberalisme- yang  mengundang hadirnya inefisiensi dalam kinerja perekonomian. Paham neoliberalisme menaruh kecurigaan sama sekali pada negara. Berbeda dengan liberalisme klasik yang  masih membuka kemungkinan peran serta negara dalam memfasilitasi aktivitas kapital sebaik mungkin. Negara, dengan demikian, mengacu pada konsep neoliberalisme, harus dibatasi kekuasaanya via mekanisme demokrasi liberal.
Sebagai reinkarnasi paham liberalisme, neoliberalisme membawa serta pula berbagai asumsi dasar pendahulunya, tentunya dengan dibarengi revisi atas peran negara dalam perekonomian. Asumsi tersebut di antaranya; individualisme, kesetaraan, kebebasan dan minimalitas peran negara. Selanjutnya berbagai asumsi di atas termanifestasikan ke dalam apa yang disebut dengan Washington Consensus yang bertumpu pada 3 pilar utama yaitu: deregulasi, privatisasi dan iberalisasi pasar. Ketiganya kemudian dijabarkan menjadi 12 elemen berikut:
1.      Price Decontrol : Penghapusan kontrol atas harga komoditi, faktor produksi, dan matauang.
2.      Fiscal Discipline : Pengurangan defisit anggaran pemerintah atau bank sentral ke tingkat yang bisa dibiayai tanpa memakai inflationary financing.
3.      Public Expenditure Priorities : Pengurangan belanja pemerintah, dan pengalihan belanja dari bidang-bidang yang secara politis sensitif, seperti administrasi pemerintahan, pertahanan, subsidi yang tidak terarah, dan berbagai kegiatan yang boros ke pembiayan infrastruktur, kesehatan primer masyarakat, dan pendidikan.
4.      Tax Reform : Perluasan basis perpajakan, perbaikan administrasi perpajakan, mempertajam insentif bagi pembayar pajak, pengurangan penghindaran dan manipulasi aturan pajak, dan pengenaan pajak pada asset yang ditaruh di luar negeri.
5.      Financial Liberalization : Tujuan jangka-pendeknya adalah untuk menghapus pemberian tingkat bunga bank khusus bagi peminjam istimewa dan mengenakan tingkat bunga nominal yang lebih tinggi dari tingkat inflasi. Tujuan jangka-panjangnya adalah penciptaan tingkat bunga bank berdasar pasar demi memperbaiki efisiensi alokasi kapital.
6.      Exchange Rates : Untuk meningkatkan ekspor dengan cepat, negara-negara berkembang memerlukan tingkat nilai tukar matauang yang tunggal dan kompetitif.
7.      Trade Liberalization : Pembatasan perdagangan luar negeri melalui kuota (pembatasan secara kuantitatif) harus diganti tarif (bea cukai), dan secara progresif mengurangi tarif sehingga mencapai tingkat yang rendah dan seragam (kira-kira 10% sampai 20%).
8.      Domestic Savings : Penerapan disiplin fiskal/APBN, pengurangan belanja pemerintah, reformasi perpajakan, dan liberalisasi finansial sehingga sumberdaya negara bisa dialihkan sektor-sektor privat dengan produktivitas tinggi, dimana tingkat tabungannya tinggi. Model pertumbuhan neo-klasik sangat menekankan pentingnya tabungan dan pembentukan kapital bagi pembangunan ekonomi secara cepat.
9.      Foreign Direct Investment : Penghapusan hambatan terhadap masuknya perusahaan asing. Perusahaan asing harus boleh bersaing dengan perusahaan nasional secara setara; tidak boleh ada pilih-kasih.
10.  Privatization : Perusahaan negara harus diswastakan.
11.  Deregulation : Penghapusan peraturan yang menghalangi masuknya perusahaan baru ke dalam suatu bidang bisnis dan yang membatasi persaingan; kecuali kalau pertimbangan keselamatan atau perlindungan lingkungan hidup mengharuskan pembatasan itu.
12.  Property Rights : Sistem hukum yang berlaku harus bisa menjamin perlindungan hak milik atas tanah, kapital, dan bangunan
Pada dasarnya, konsesus di atas merupakan perluasan atas apa yang telah dijalankan sebagai politik perekonomian di Inggris dan AS masa Thatcher dan Reagan, yang semakin mendapatkan momentumnya pasca keruntuhan sistem ekonomi terencana model Uni Soviet. Neoliberalisme baik sebagai mazhab maupun model kebijakan ekonomi mendapatkan legitimasi sebagai hasil kegagalan Keynesianisme dan perekonomian komando sosialis Soviet dalam usaha keduanya alternatif bagi liberalisme. Sudah sewajarnya bila slogan provokatif seperti There is no alternative (TINA) terlontar dari pemikiran Thatcher.
Kemenangan neoliberalisme dalam kontestasi wacana ekonomi dan ketersediaan peluang berdasar dinamika obyektif system kapitalisme, berimplikasi pada pengadaptasian berbagai strategi kapitalisme global yang telah ditempuh sebelumnya. Termasuk terhadap institusi-institusi produk konferensi Breton Wood seperti IMF, WB dan terakhir WTO. Lembaga-lembaga internasional tersebut yang memang sejak mula diproyeksikan sebagai bagian dari strategi imperialisme AS mengalami pergeseran paradigme pasca berlangsungnya Kosesus Washington. Meski ketiga lembaga tersebut (unholy trinity) merupakan satu kesatuan dalam membangun hegemoni neoliberalisme ke seluruh dunia. Dalam kesempatan ini, WTO memperoleh perhatian khusus karena relevansinya dengan tema tulisan ini.
Didirikannya WTO bertujuan menjadi regulator aktivitas perdagangan global. Guna mengisi kekosongan regulasi, hal-ikhwal perdagangan global di antara negara-negara kapitalis mengacu pada the General Agrement On Tariffs And Trade (GATT). Mulai pertengahan pada tahun 1960 dilakukan serangkaian putaran perundingan perdagangan multilateral  Multilateral Trade Negotiations (MTNs) yang secara  bertahap memperluas cakupan GATT dalam kebijakan non-tariff yang lebih besar.  Tujuh putaran MTN telah dilakukan dalam kerangka GATT yaitu Putaran jenewa  (1947), Putaran Annecy (1949), Putaran Torquay (1951), Putaran Jenewa (1956),  Putaran Dillon (1960-1961), Putaran Kennedy (1964-1967),dan Putaran tokyo  (1973-1979). Lima putaran pertama MTN membahas topik khusus mengenai  tariff. Sejak Putaran Kennedy, topik perundingan selain tarif juga membahas  tentang restriksi perdagangan non tarif dan masalah perdagangan terkait dengan produk pertanian. Pembahasan non tariff yang dilakukan dalam Putaran Kennedy  masih merupakan pembahasan cakupan dalam lingkup GATT. Putaran Tokyo selain masalah tarif dan non tarif juga dibahas tentang kebijakan-kebijakan diluar  dari GATT seperti standar produk (product standars) dan pengadaan pemerintah  (government procurement). Bertujuan menanggapi dinamika perdagangan multilateral, GATT menyelenggarakan putaran Uruguay yang berlangsung dari tahun  1986 hingga 1994 dengan hasil sebagai berikut :
1.      Menciptakan perdagangan bebas dunia yang akan memberi keuntungan pada Negara-negara sedang berkembang dan perluasan pasar ekspor melalui penghapusan hambatan-hambatan perdagangan, baik hambatan  tarif maupun hambatan non-tarif.
2.      Meningkatkan peran GATT dan memperbaiki sistem perdagangan  multilateral berdasar prinsip-prinsip GATT .
3.      Meningkatkan penyesuaian sistem GATT dan mempererat hubungan GATT dengan organisasi-organisasi internasional yang relevan.
4.       Mengembangkan kerjasama ekonomi nasional dan internasional antara lain melalui perbaikan sistem keuangan internasional dan investasi ke negara-negara sedang berkembang.
Putaran Uruguay memprakondisikan terbentuknya WTO di tahun 1994. WTO pula yang kelak akan menyempurnakan fungsi dan kedudukan GATT dalam kancah globalisasi neoliberal. Indonesia meratifikasi setujuan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun1994 tentang pengesahan  Agreement Establishing The World  Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Ketergabungan Indonesia dalam keanggotaan WTO berarti dipatuhinya seluruh prinsip yang dianut dalam organisasi ini.
Kelahiran Masyarakat Ekonomi ASEAN tidak terlepas dari dinamika globalisasi neoliberal baik pada ranah teori maupun praktiknya. Dialektika mazhab perekonomian dan kehancuran setiap upaya alternatif atas liberalisme dipamungkasi dengan kekalahan Uni Soviet dalam kompetisi politik global, termasuk kemenangan mazhab neoliberalisme berikut pembentukan WTO, menjadi musabab ekternal perancanangan kerjasama ekonomi regional yang mengadopsi prinsip-prinsip liberalisme. Berbagai faktor dari dalam kawasan seperti keunggulan pengaruh blok kapitalis di Asia Tenggara pasca kekalahan kiri di Indonesia medio dasawarsa 1960-an, menjadi penentu proses pengintegrasian kawasan melalui format ASEAN di tahun 1967. Dalam konteks Indonesia, gejala ini mengindikasikan pergeseran politik luar negeri Indonesia pasca pemusnahan kaum komunis ke arah barat. Alih-alih melanjutkan pengembangan gerakan non blok, rezim Suharto malah membangun ASEAN.
Dekade 1980-an hingga  hingga tahun 1992, para pemimpin negara di kawasan ASEAN memasuki fase intensif pembahasan rencana pengintegrasian ekonomi kawasan. Sehingga pada KTT ke-5 ASEAN di Singapura tahun 1992 pada akhirnya disepakati  penandatanganan Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation sekaligus  menandai dicanangkannya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tanggal 1  Januari 1993 dengan Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai  mekanisme utama. Pendirian AFTA mengharuskan  pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan hambatan-hambatan non-tarif, dan perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan fasilitasi perdagangan.
Sepanjang dekade 1990-an ditandai dengan penurunan kinerja perekonomian di negara-negara kawasan Asia Pasifik. Negara-negara di kawasan ini menggunakan strategi ekonomi bercorak pembangunanisme yang melibatkan peran negara dalam porsi yang cukup besar dalam perekonomian. Kegagalan strategi ini berdampak pada semakin menguatnya legitimasi klaim mazhab neoliberalisme sebagaimana telah disampaikan di atas. Padahal, pengamatan yang cermat atas apa yang terjadi saat itu, jelas terlihat bahwa krisis moneter dapat terjadi akibat liberalisasi keuangan yang memicu penerapan sistem kurs bebas dan berdampak pada terjadinya outflows capital. Krisis tersebut membuka kesempatan bagi institusi neoliberal seperti IMF untuk menawarkan sepaket bantuan sekaligus resep khas neoliberal (program penyesuaian struktural) yang berlaku imperatif.
Dalam suasana demikian berbagai agenda ASEAN terus berlanjut, hingga, pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu bulan Januari 2007 disepakati penandatanganan  ”Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community  by 2015”. Dalam konteks tersebut, para Menteri Ekonomi ASEAN telah  menginstruksikan Sekretariat ASEAN untuk menyusun ”Cetak Biru ASEAN  Economic Community (AEC)”. Cetak Biru AEC tersebut berisi rencana kerja  strategis dalam jangka pendek, menengah dan panjang hingga tahun 2015 menuju terbentuknya integrasi ekonomi ASEAN. Rencana tersebut meliputi paling tidak hal-hal sebagai berikut:
1.      Menuju single market dan production base (arus perdagangan bebas untuk  sektor barang, jasa, investasi, pekerja terampil, dan modal);
2.      Menuju penciptaaan kawasan regional ekonomi yang berdaya saing tinggi (regional competition policy, IPRs action plan, infrastructure development, ICT, energy cooperation, taxation, dan pengembangan UKM);
3.      Menuju suatu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata (region of equitable economic development) melalui pengembangan UKM dan program-program Initiative for ASEAN Integration (IAI);
4.      Menuju integrasi penuh pada ekonomi global (pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi eksternal serta mendorong keikutsertaan dalam global supply network).
Secara mendasar hasil deklarasi di atas memberi petunjuk adanya usaha memuluskan jalan berlangsungnya perdagangan bebas. Langkah prospektif yang akan ditempuh kemudian adalah pengintegrasian ekonomi kawasan yang sedang dibentuk ke dalam sistem ekonomi global (globalisasi). Berdasarkan tinjauan teori, paling tidak terdapat lima tahap pengintegrasian; a) free trade area; b) common union; c) commom market; d) economic union; e) economic and political integration. Dalam bahasa berbeda, maka niatan tersebut menyiratkan komitmen pembangunan perdagangan bebas dalam skala global.
Telah dikemukakan di atas, fenomena globalisasi berkelindan dengan dinamika dan bahkan didorong oleh watak inheren dari kapitalisme itu sendiri. Ditopang oleh kekuatan produksi yang terus berkembang, kapitalisme memiliki kesanggupan memproduksi dalam tingkat kemampuan menciptakan kondisi berkelimpahan. Sayangnya, kemampuan demikian didampingi oleh hasrat menimbun keuntungan sebesar mungkin yang telah mendarah daging dalam visi kapitalis. Aspirasi kapitalis tersebut diakomodir oleh liberalisme filosofi dalam rupa perlindungan hak milik pribadi, kedaulatan pasar dan anarkhisme produksi. Perpaduan kesemuanya menghasilkan prinsip distribusi kebutuhan berdasarkan tingkat daya beli masyarakat. Prinsip tersebut mendorong terjadinya apa yang dimaksud Marx sebagai excess suply atau keberlimpahan komoditas tanpa daya beli.
Pertama-tama, pasar komoditas perlu diperluas atau bahkan berdasarkan pengalaman praktik kolonialisme di Indonesia, mayoritas produksi komoditas berorientasi pada pemenuhan permintaan pasar global (tak peduli pada kebutuhan rakyat tanah jajahan). Untuk mencapai tujuan yang dimaksud, ideolog kapitalis (para ekonom, professor, akademisi) mempromosikan, melalui jalur intelektual dan berbagai kesempatan propaganda lain, ide mengenai liberalisme pasar dan minimalisasi peran negara. Pada kerangka ini, apa yang disebut dengan globalisasi termanifestasi ke dalam proses pembentukan formasi pasar bebas hambatan pada berbagai level.
Untuk menunjukkan keberadaan problematika ideologis pada proses globalisasi, pada kesempatan ini dirasakan perlu mengutip pernyataan salah satu pimpinan IMF dalam sebuah wawancara eksklusif yang menyebut ketiadaan korelasi antara ketimpangan global dengan globalisasi. Bila pun terdapat ketimpangan semacam itu, penyebabnya adalah faktor internal negara tersebut, seperti kompleksitas birokrasi, korupsi dan faktor-faktor lain yang dapat memicu inefisiensi perekonomian. Kunci kemakmuran dengan demikian terletak pada efisiensi.
Kegagalan model perekonomian alternatif liberalisme pun diklaim akibat inefisiensi yang diidapnya. Efisiensi, dalam anggapan kaum liberal, hanya dapat dicapai, seperti dalam pandangan Ricardo yang mengutarakan konsep perdagangan internasional berbasis pasar bebas, melalui aktivitas perdagangan bebas. Seperti diketahui, secara teoritis, perdagangan bebas dianggap terutama bertumpu pada persaingan bebas. Kondisi yang layak bagi persaingan bebas hanya mungkin terwujud apabila intervensi negara dinihilkan. Intervensi politis melampaui porsi kebutuhan pasar hanya akan menyebabkan distorsi. Hal tersebut perlu dihindari guna terciptanya keseluruhan perekonomian yang efisien.
Edi Swasono berpendapat bahwa persaingan merepresentasikan pengutamaan kepentingan orang seorang (self-interest – pamrih pribadi) sebagai ciri utama liberalisme yang melahirkan individualisme. Konsep dasar mengenai individualisme ini bertumpu pada mimpi pencapaian kepuasan perseorangan (individual maximum satisfaction) dan keuntungan maksimal (profit maximum). Mimpi tersebut perlu dan dianggap hanya mungkin dicapai melalui perekonomian yang efisien. Model MEA, seperti telah ditunjukkan pada bagian sebelumnya, mengadopsi sepenuhnya elemen-elemen liberalisme (baca: neoliberalisme). Kendati dalih yang dipergunakan bahwa penerapan MEA adalah dalam rangka penguatan kerja sama regional. Tetap saja nuansa persaingan diindikasikan oleh sikap para pebisnis yang akan menjadi pemain utama di dalamnya. Misalnya saja ungkapan mengenai posisi Thailand sebagai negara kompetitor terberat dari Indonesia. MEA dengan demikian menganut ideologi liberalisme.
B. Kembali Pada Ideologi Pancasila (Penelusuran Atas Semangat Pancasila 1 Juni)
Sementara pihak memandang integrasi ekonomi dalam skala global adalah keniscayaan sejarah. Pertautan bangsa-bangsa dalam sebuah skema perdagangan internasional telah dimulai sejak teknik pelayaran dan navigasi mulai tumbuh. Dewasa ini, semakin dimungkinkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sekat dan batasan teritorial serta politik pun tidak lagi berarti, dunia semakin menyatu. Globalisasi karenanya dipandang sebagai fenomena alami. Apa yang terjadi sebenarnya adalah globalisasi menjadi modus penguasaan negeri-negeri berkembang dalam pengonsentrasian  nilai produksi masyarakat di seluruh negeri tersebut oleh perusahaan-perusahaan transnasional-multinasional dalam bentuk penyatuan modal bank, finansial dan produksi.
Mengantisipasi fenomena di atas, Pancasila dari mula perumusannya hingga ditetapkan sebagai dasar dari negara Indonesia merdeka, mencantumkan di dalam dirinya rumusan sila yang mengacu pada prinsip internasionalisme. Prinsip ini didasari dan bersumber pada nilai-nilai kemanusiaan yang tak mengenal batas negara bangsa, identitas sosial-politik dan bahkan klas sosial. Sekilas nampak Pancasila –yang berpegang pada prinsip internasionalisme- dapat menerima gagasan mendasar penerapan globalisasi neoliberal, yaitu penghilangan batas-batas negara bangsa yang dianggap dapat menghambat laju internasionalisasi modal.
Untuk ini perlu dilakukan klarifikasi terang atas klaim “keseakan-akanan” tersebut sehingga memperjelas apakah proses globalisasi berbasis neoliberalisme identik dengan internasionalisme yang dimaksud di dalam Pancasila atau tidak. Untuk diketahui, Pancasila lahir dalam suasana perjuangan menentang kolonialisme. Di mana kelahirannya itu dimaksudkan sebagai –meminjam bahasa Bung Karno- Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi”. Sebagai landasan fondasional dari sebuah negara yang merdeka –predikat merdeka dalam konteks ini memiliki signifikansi tertentu -Pancasila memuat nilai-nilai dasar kemerdekaan dan menjadi antitesa bagi ideologi kolonialisme yang ditentangnya. Di samping mengemban status ideologi kemerdekaan, Pancasila pun sebagaimana BK mensyaratkan, memperoleh perannya sebagai pemersatu dan arah perjuangan bangsa.
Kedudukan demikian selanjutnya menjiwai dan terjabarkan ke dalam rumusan sila-sila Pancasila. Sila kebangsaan atau yang di dalam pembukaan UUD 1945 dirumuskan sebagai sila persatuan Indonesia, mengisyaratkan signifikansi bangsa sebagai lingkup keberdirian negara. Negara Indonesia merdeka adalah negara bangsa dan bersatu atas nama bangsa, persatuan lebih mungkin diterapkan dalam kerangka kebangsaan akibat sifatnya yang independen terhadap kategori etnisitas, keagamaan atau pun penggolongan lainnya yang ada dalam masyarakat. Sehingga bila diekstraksi prihal kebangsaan ini akan menghasilkan saripati  dari pada persatuan Indonesia.
Prinsip kemanusiaan mengimbangi dasar kebangsaan dari Pancasila guna mencegah terjadinya kemerosotan atas apa yang dipahami sebagai rasa kebangsaan menjadi sekedar chauvinisme seperti yang menjangkiti, misalnya, fasisme. perkawinan atas kedua prinsip tersebut lantas menghasilkan rumusan dialektis yang oleh BK diberi nama sosio-nasionalisme. Paham kebangsaan yang mengakar pada realitas kemasyarakatan (masyarakat berklas dan keberadaan penindasan kapitalisme di dalamnya), memperhatikan keberesan tidak hanya perkara politik semata melainkan pula persoalan-persoalan ekonomi bangsa. Konsepsionalisasi semacam ini kelak akan memberi dasar bagi perumusan konsep Tri Sakti oleh BK yang menyiratkan, paling tidak dalam konteks hubungan antar bangsa, pandangan tentang keharusan adanya kedaulatan nasional dalam aspek politik dan kemandirian di bidang ekonomi. Kedaulatan dan kemandirian memberikan basis bagi paradigma kebangsaan yang berperi-kemanusiaan.
Prinsip berikutnya dari Pancasila berturut-turut dan saling terkait adalah prihal kerakyatan dan kesejahteraan (keadilan) sosial. Keterkaitan keduanya menghasilkan apa yang disebut dengan sosio-demokrasi, demokrasi sosial. Demokrasi yang berangkat dari kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Penekanan pada aspek kemasyarakatan berarti bahwa konsep demokrasi yang tercantum dalam Pancasila tidak diturunkan dari pemikiran abstrak apalagi spekulasi filosofi tertentu. Sebagaimana pengertiannya dalam kelaziman, demokrasi tetap merupakan manifestasi rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi atas negara dan isinya. Digali dari praktik demokratis masyarakat pedesaan tempo dulu, gagasan kerakyatan dilekati oleh prinsip permusyawaratan (untuk mufakat) dalam operasionalisasinya. Keterbedaan atas apa yang disebut oleh BK dan Hatta sebagai demokrasi barat yang berinti pada individualisme telah ditetapkan, demokrasi menurut Pancasila adalah demokrasi bersemangat kolektif.
Individualisme yang menjiwai demokrasi barat didasari oleh pengutamaan keselarasan praktik demokrasi (persamaan politik) dengan prinsip kebebasan individu. Artinya adalah, persamaan di bidang politik tidak diperkenankan bertentangan dengan kebebasan individu, khususnya aspek kepemilikan di wilayah ekonomi. Sehingga, dalam ekonomi anggota masyarakat mungkin dan boleh untuk tidak setara asal itu tidak menentang kebebasan individu. Paradigma liberalistik pada bidang politik dan praktik free fight liberalism di bidang ekonomi ini lah yang ditentang habis-habisan oleh para pendiri bangsa. Wacana penentangan tersebut terkristal di dalam konsep demokrasi sosial (sosio-demokrasi) yang pada pokoknya bersumber pada ekses liberalisasi dan eksploitasi kapitalis atas rakyat marhaen dalam rupa ketimpangan sosial. Persamaan politik akan berwatak ilusif bila tidak dibarengi dengan kepemilikan oleh rakyat (kolektif) atas berbagai sumber daya ekonomi. Sehingga, demokrasi sosial adalah rakyat berdaulat tidak hanya dalam bidang politik tapi juga di bidang ekonomi.
Mengikuti alur pikir BK dalam pidato 1 Juni 1945, dilengkapi oleh prinsip ketuhanan dua konsep di atas (sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi) diberi nama trisila. Beragam prinsip di atas yang, sebagaimana secara implisit mengemuka dalam pemaparan BK, berwatak kontradiktif antara satu dengan lainnya (misalnya kebangsaan kontra kemanusiaan), pada dasarnya dijiwai oleh prinsip yang sama, yaitu gotong royong. Itu lah bila dicermati baik dalam sosio-nasionalisme maupun sosio-demokrasi, maka kedua konsep tersebut jelas terlihat dilekati aspek kemasyarakatan yang membuatnya memiliki watak kolektivistik alih-alih individualis. Prinsip gotong royong pula yang lebih sesuai dengan spirit persatuan yang terkandung dalam Pancasila sebagai wadah pemersatu. Sehingga dengan berperan sebagai dasar dinamik dari sistem kenegaraan, Pancasila dalam memberi arah bagi perjuangan bangsa telah meletakkan pula prinsip dasar yang menjadi metode perjuangan, yaitu persatuan dari seluruh bangsa dan gotong royong.
C. MEA Bertentangan dengan Pancasila dan Wacana Alternatif atas MEA
Karakteristik Pancasila sebagai antitesa atas ideologi penjajahan didasari oleh prinsip paling elementer yang menjiwai seluruh sila, yaitu gotong royong. Sehingga, Pancasila secara mendasar berwatak kolektivistik. MEA, lazimnya skema regionalisme derivatif konsesus Washington, mendasarkan seluruh hasil berbagai konferensi internasional (termasuk pembentukan MEE dan WTO) pada upaya memuluskan jalannya persaingan bebas di antara kekuatan ekonomi global. Tidak masalah seberapa besar perimbangan kekuatan di antara mereka. Sebagaimana uraian di atas, prinsip persaingan bebas merepresentasikan aspirasi kepentingan diri yang jelas-jelas berwatak individualis. MEA, dengan demikian, berdasar pada individualisme sebagai prinsip paling elementer dari seluruh aspek-aspek yang disepakati dalam Deklarasi Cebu.
Penggunaan dasar liberalisme filosofi berujung pada penerapan atas doktrin liberalisme ekonomi berusia ratusan tahun itu. Pengintegrasian pasar bersama dalam skema perdagangan bebas  adalah anjuran yang senada disarankan Ricardo, bahwa perdagangan bebas antar bangsa merupakan landasan paling ideal hubungan ekonomi antar negara. Dinyatakan demikian karena diasumsikan dapat mempersatukan berbagai bangsa di seantero jagad ke dalam satu ikatan (single market). Sehingga, hubungan di antara negara akan menjadi efektif dan efisien yang dideskripsikan sebagai parameter yang identik dengan kebebasan. Kembali, pada area normatif, terjadi pertentangan antara prinsip gotong royong Pancasila yang berwatak kolektivistik dengan muatan liberalistik dalam konsep MEA.
Asumsi demikian didasari oleh implikasi politik yang mengikuti penerapan konsep perdagangan bebas, yakni minimalisasi peran negara – yang dalam banyak kasus- hingga pada batas perlindungan atas hak-hak individu dan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya berbagai faktor distorsi pasar. Pembatasan peran negara tersebut, secara politik, bermakna pengangkangan atas kedaulatan bangsa yang seharusnya menjadi salah satu penunjang terwujudnya penguatan infrastruktur ekonomi sebagai basis kemandirian bangsa. Maka, dalam hal ini, konsep MEA telah menentang prinsip kebangsaan sekaligus sosio-nasionalisme (Tri Sakti). Pada dasarnya telah terjadi pengalihan kedaulatan dari daulat bangsa, dalam konteks hubungan antar bangsa, dan daulat rakyat, dalam konteks domestik, kepada daulat pasar. Apa yang disebut pasar di sini, mengutip Edi Swasono, adalah beragam kekuatan pasar yang termanifestasi dalam wujud perusahaan trans-multinasional, kekuatan finansial global, negara-negara induk imperialis, lembaga-lembaga internasional yang menunjang terealisasinya globalisasi neoliberal. 
Mimpi indah tentang pemerataan pembangunan ekonomi regional kembali dibawa dalam konsep MEA, setelah promosi prospek penyebaran aset yang konon katanya inheren dalam proses globalisasi, kemudian terbantah secara empiris oleh fakta ketimpangan global dan terkonsentrasinya akumulasi kekayaan masyarakat ke tangan minoritas kekuatan pasar dalam rupa berbagai perusahaan multinasional. Data yang dilansir oleh Anup Shah menyebutkan setidaknya 25 persen  aset dunia pada tahun 2004 dikontrol oleh 0,13 persen penduduk dunia.
Ketimpangan dapat terjadi dalam sistem perekonomian pasar kapitalis karena sistem ini abai terhadap fakta perimbangan beragam kekuatan pasar yang sama sekali tidak dalam kondisi setimbang. Di saat bersamaan, diskriminasi kekuatan yang menghasilkan kebijakan proteksionis berarti memicu kemungkinan terjadinya penguatan peran negara. Sehingga bila konsep liberalisme diterapkan secara konsisten sama saja berarti membiarkan berlangsungnya perkelahian di antara berbagai kekuatan yang tak seimbang. Namun, demikian lah persaingan bebas, bila terdapat pihak terlindungi maka kebebasan menjadi terbatalkan dan itu berarti menentang salah satu pokok liberalisme filosofi, kebebasan individu, dan secara tidak langsung menyerang individualisme itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, apa yang dimaksud sebagai internasionalisasi kapital via globalisasi neoliberal (baca: MEA) sama sekali tidak identik dengan prinsip internasionalisme Pancasila (sila kemanusiaan). Hal ini dapat dimengerti dalam dua hal, pertama, internasionalisme Pancasila menentang MEA karena perbedaan prinsip elementer yang dianut keduanya. Pancasila berwatak kolektivistik dan mengacu pada nilai kemanusiaan sosial (sosio-nasionalisme), hal ini berarti dalam kerangka Pancasila sebagai ideologi anti penjajahan, nilai kemanusiaan yang dimaksud adalah prinsip anti penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Dalam khasanah pemikiran BK, prinsip internasionalisme memang tidak terpisah dari konsep kebangsaan yang diintroduksinya. Ia menyatakan: “Kita bukan saja harus mendirikan negara Indoneia Merdeka tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Pernyataan BK di atas memperjelas cita-cita internasionalisme Pancasila yang dilandasi oleh nilai-nilai kekeluargaan dan persaudaraan. Pemikiran BK tentang sosio-nasionalis sejak masa pergerakan nasional telah  senantiasa konsisten diperjuangkan hingga tertuang dalam rumusan Pancasila. Dalam artikel berjudul “Sekali Lagi Tentang Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi”, BK menegaskan jika sosio-nasionalisme dapat dipergunakan sebagai senjata ideologis klas pekerja dalam melawan imperialisme. Hal ini semakin memandu kita ke arah karakter sejati semangat pemikiran di balik rumusan formal Pancasila. Semangat demikian selanjutnya dirangkai ke dalam prinsip gotong royong yang menjiwai keseluruhan sila. Bertolak belakang dengan liberalisme ekonomi yang dianut MEA, di mana dasar asumsi yang dipergunakan adalah individualisme dan persaingan tanpa ampun.
Kedua, prinsip internasionalisme atau kemanusiaan Pancasila mengkonfirmasi (baca: mengantisipasi) ketepatan pemikiran yang memprakondisikan rumusan formal Pancasila. BK di tahun 1959  dalam  sebuah kesempatan memaparkan sila kemanusiaan di dalam forum kursus Pancasila, telah mencermati gejala semakin menghilangnya sekat-sekat pembatas antar negara bangsa. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya, pengintegrasian masyarakat bangsa-bangsa secara global memang telah dimungkinkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Persoalannya kemudian, proses tersebut berkelindan dengan perkembangan kapitalisme global. Sehingga, proses globalisasi bukan lagi sebuah proses yang netral, ia telah bersenyawa dengan internasionalisasi kapital melalui skenario neoliberalisme. Internasionalisme Pancasila menentang watak kapitalistik dan ideologi neoliberalisme yang dianut oleh globalisasi. Namun dalam waktu bersamaan, di dalam dirinya, Pancasila telah mengantisipasi geala tersebut dengan mencantumkan prinsip internasionalisme berbasis kemanusiaan sosial. Ini yang membuat Pancasila tidak berada dalam posisi menentang kemungkinan-kemungkinan globalisasi sebagai implikasi perkembangan peradaban pengetahuan umat manusia.
Mempertimbangkan hal tersebut di atas, secara mendasar prinsip kemanusiaan atau internasionalisme mengarahkan pada pengontruksian suatu model kerjasama internasional yang sepenuhnya berbeda secara diametrial dengan apa yang digagas dalam skema MEA atau berbagai bentuk pasar bebas kapitalis yang telah diterapkan di banyak kawasan. Berdasarkan pada berbagai prinsip yang terkandung di dalam rumusan sila-sila Pancasila. Cita-cita kekeluargaan antar bangsa yang implisit di dalam sila kebangsaan (persatuan Indonesia) dan kemanusiaan (internasionalisme) meletakkan paradigma kerjasama internasional berbasis solidaritas kemanusiaan, berkarakter anti liberalisme dan dijiwai gotong royong antar bangsa. Kerja sama semacam ini sebenarnya telah dirintis oleh bangsa Indonesi pada masa pemerintahan mendiang Bung Karno dengan mensponsori –bersama-semata negara pelopor lainnya- konferensi internasional di antara bangsa-bangsa Asia-Afrika yang mayoritas merupakan negara bekas jajahan dan bahkan ada yang masih dalam status terjajah. Hubungan demikian masih berada dalam kerangka politik, namun setidaknya telah menjadi petunjuk bahwa kerja sama yang sepenuhnya berbasis solidaritas antar bangsa adalah mungkin dan berdampak signifikan bagi hubungan bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Dewasa ini, semangat tersebut diwarisi oleh negara-negara Amerika Latin dan kawasan Karibia yang berinisiatif membentuk apa yang mereka namakan sebagai the Bolivarian Alternative for Latin an Carribean . Zambrano, Sekretaris Jendral ALBA, dalam suatu kesempatan wawancara menegaskan bahwa ALBA memang dirancang sebagai: “struktur baru dengan partisipasi sosial, tidak mengizinkan eksploitasi terhadap manusia dan bebas dari spekulasi keuangan.” Ditegaskan pula bahwa ALBA adalah komitmen bagi negara-negara yang tergabung di dalamnya untuk membuat suatu pemisahan radikal atas pranata ekonomi neoliberalisme, sekaligus pula memprakondisikan kedaulatan nasional dan ekonomi dalam rangka menghilangkan kebergantungan terhadap model perdagangan khas WTO. Meninggalkan orientasi primitif kapitalisme, yakni akumulasi profit dan mengarahkan perdagangan pada prioritas pemenuhan kebutuhan domestik.
Program rintisan yang telah dikembangkan di antaranya adalah; proyek grandnasional dan perusahaan bersama; Sistem Tunggal Pembayaran Kompensasi Regional (sucre) sebagai mata uang bersama untuk menghindari dominasi dollar AS dan manipulasi valuta asing; dan pembentukan Bank ALBA guna menerobos hegemoni Bank Dunia dan memberi dukungan ekonomi pada proyek regional yang berorientasi kerakyatan dan pembangunan sosial di level kawasan. Pesannya sangat jelas, membantah kerasnya kepala besi Thatcher bahwa alternatif itu ada dan itu telah dirintis tepat di halaman belakang negara induk imperialis AS. Pancasila sebagai ideologi sekaligus arah perjuangan bangsa pun secara implisit mengandung di dalamnya sebuah kehendak terbangunnya suatu model alternatif atas perekonomian pasar kapitalis dan berbagai bentuk pasar bebas, di mana MEA adalah salah satunya. Pada akhirnya, Pancasila menentang MEA dan sepenuhnya mendukung model alternatif atas MEA serta seluruh manifestasi globalisasi neoliberal di seantero bumi manusia.


Referensi
Awalil Rizky dan Nasyith Majidi, 2008, Neoliberalisme Mencengkram Indonesia, E. Publishing, Jakarta.
David Harvey, 2008, Neoliberalisme dan Restorasi Klas Kapitalis, Resist Book, Yogyakarta.
Dian Triansyah Djani, 2008, ASEAN Selayang Pandang, Direktur Jenderal Kerjasama  ASEAN, Jakarta.
James Petras dan Henry Veltmeyer, 2014, Menelanjangi Globalisasi: Sepak terjang Imperialisme di Abad 21, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Karl Marx, 2007, Kapital III (Proses Produksi Kapitalis Secara Menyeluruh), Hasta Mitra, Jakarta.
Mochtar Mas’oed, 1997, Ekonomi Politik Internasional, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM, Yogyakarta.
Mochtar Mas’oed, 1994, Negara, Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Paul A. Samuelson & Peter Timmer, 1976, Economics,  Mc.Graw Hill, Kogakusha.
Sri-Edi Swasono, 2013, Menjadi Tuan di Negeri Sendiri: Pendekatan Teoritis-Akademis dan Ideologi, UST Press, Yogyakarta
Sukarno, 2005, Di Bawah Bendera Revolusi, Yayasan Bung Karno, Jakarta.
Sukarno, 1959,  Pancasila Sebagai Dasar Negara, Yayasan Prapanca, Jakarta.
Sukarno, 1945, Pidato Pancasila 1 Juni.