Kamis, 10 November 2016

SHAKUNI (SENGKUNI) BEREBUT KUASA *

  ainosora.deviantart.com
                                                             
Politik ditolak karena dirinya yang buruk atau karakternya yang telah dibunuh? Banyak usaha telah dilakukan para ilmuwan dan komentator untuk menjawab pertanyaan semacam itu. Dari telunjuk yang menuding proyek depolitisasi rezim Orde Baru hingga karakter kita yang katanya hipokrit itu.
Bagi penulis, persoalan tidak terletak pada predikat yang melekat pada politik. Segala kemuakan terhadap politik justeru bermula dari cara bekerja politik itu sendiri. Pertanyaan pun seharusnya dialihkan menjadi: “bagaimanakah politik bekerja selama ini?”.
Tanggapan keras datang dari tulisan seorang demonstran legendaris, Soe Hok Gie. Politik baginya adalah lumpur kotor, hindari bila itu dapat dihindari, bila tidak maka masuklah ke dalamnya untuk tiba di seberang. Tidak diragukan bahwa Gie adalah seorang idealis dan humanis besar yang pernah hidup di antara kita. Namun, bukan jenis idealis dan humanis naif yang menapak jalan apolitisme.
Ia hanya muak pada politik yang bekerja saat itu, politik retoris penguasa, tulisnya : “Cuma pada kebenaran masih kita harapkan. Dan radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan. Kebenaran Cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu”.
Selama bangunan dunia manusia dibentuk oleh kekuasaan, selama itu pula politik tak dapat dihindari. Bukankah politik adalah tentang kekuasaan? Jika kekuasaan berarti kemampuan mengendalikan dan mempengaruhi pihak lain. Artinya, politik adalah tentang kemampuan semacam itu. Gie dengan sikapnya tentu insyaf akan hal tersebut.
Bhisma, idealis lain yang hidup dalam dunia wiracarita, mempersembahkan dharmabhakti-nya pada tahta Dinati Kuru. Politik dan kekuasaan dipandang berbeda dibanding Shakuni memandangnya. Ketertundukkan Bhisma Putra Gangga pada norma bukanlah cerita baru.
Kekuatan, politik dan kekuasaan di tangan Bhisma bersama-sama memikul tahta. Shakuni sang politikus datang dengan tongkat ajaib di tangan dan mebalik segala keharusan-keharusan. Kekuatan, politik, sekaligus norma dirangkaikan menjadi kereta bagi Duryodhana sang keponakan tersayang supaya dapat bergerak lebih kencang menuju kekuasaan.
Shakuni sedang berpolitik, meraih kekuasaan melalui atau pun tidak cara yang dianggap konstitusional. Bhisma yang kolot tetap terikat dengan idealismenya yang naif. Sumpah setia pada tahta menjadi cara bagi Shakuni memperalatnya.
Pandawa bersaudara, idealis lainnya, menjadi bulan-bulanan Shakuni beserta seratus Kurawa bersaudara. Pandawa tertua, Yudhistra Putra Dharma, menuntut sabar dan nrimo pada adik-adiknya yang marah dan telah frustasi menghadapi akrobat Shakuni.
Agaknya Bhagawan Wyasadewa (penggubah Mahabharata) konsisten dengan keyakinan para penyusun Upanishad bahwa, satyam eva jayate nanrtam (सत्यं एव जायते णन्रतं ) , kebenaran akan senantiasa berjaya dan tidak pada kejahatan. Khrisna, politikus yang lain, hadir pada pertengahan cerita dan mendekat pada Pandawa yang idealis dan lemah teraniaya. Pertama kali Khrisna di tengah-tengah para Pandawa hadir sebagai agitator, menebar benih perlawanan.
Benih pun tumbuh berbuah, Pandawa siap melawan. Politikus ulung mengerti bahwa melawan saja tidaklah cukup. Melawan secara konfrontatif sebuah aliansi raksasa yang dibangun Shakuni bukan sikap yang bijaksana. Pilihan yang paling mungkin adalah Khrisna harus berhadapan vis a vis dengan Shakuni dalam bingkai politik.
Seluruh titik terlemah lawan dieksploitasi meski hal itu bertentangan dengan norma yang telah mapan. Berbohong tentang kematian Aswathama untuk meruntuhkan semangat tempur Guru Drona. Menghadapkan Bhisma pada seorang perempuan yang tak mungkin dilawan oleh kesatria sepertinya.
Singkatnya, Pandawa berjaya dan aliansi Kurawa kalah total melalui sebuah pertarungan politik. Politik yang pada masa klasik dimengerti sebagai cara mengatur pemerintahan untuk kebaikan bersama, dalam perspektif moralisme Mahabharata, pasca bharatayudha, telah bergeser menjadi tipu daya yang memusingkan kepala.
Sepanjang sejarah masyarakat manusia yang telah diketahui, kekuasaan disusun berdasarkan hubungan antara bidang kekuasaan, penguasa, dan yang dikuasai. Politik pun menjadi pertarungan berebut bidang kekuasaan untuk dapat berkuasa atas pihak lain.
dewipuspasari
Perebutan terjadi akibat keterbatasan bidang kekuasaan, setelah perebutan usai bidang kekuasaan yang terbatas mengkondisikan terbentuknya elitisme yang menjauhkan penguasa dari yang dikuasainya. Politik beredar di sekitar bidang kekuasaan yang terbatas tersebut.
Bukan hanya elitisme yang dikondisikan oleh keterbatasan bidang kekuasaan. Perebutan adalah keniscayaan sehingga politik menjadi nama lain dari perebutan bidang kekuasaan. Sebagaimana Shakuni demikianlah kontestan politik beraksi. Mobilisasi atas kekayaan hingga agama dilakukan dalam usaha memperoleh bidang kekuasaan.Bidang kekuasaan seperti jabatan kepala pemerintahan, anggota parlemen, komisaris perusahaan negara, kepala kepolisian, panglima tentara, pimpinan partai politik, dan lain-lain adalah tempat di mana politik bekerja. Politik asing bagi pihak yang berada di pinggiran dan tidak berkemampuan menjangkau bidang-bidang kekuasaan tersebut. Mengemukalah pandangan bahwa politik adalah urusan para pembesar yang dekat dengan bidang kekuasaan.
Seluruh pergerakan politik berpusat pada diri calon-calon penguasa dan para pendukung yang telah berkonsesi dengan mereka. Jadilah jalanan rumah kita medan peperangan politik para titisan Shakuni. Penghuni rumah di pinggir jalan hanya menonton perang tersebut sembari berharap remah-remah roti para prajurit (politik uang) jatuh di halaman mereka. Peperangan tersebut berdarah-darah, pengorbanan adalah pasti.
Untuk mengganti itu semua bidang kekuasaan harus dikonversi menjadi lahan bercocok tanam yang subur agar setimpal. Saat telah berada di atas bidang lahan, pengikut menebar benih dan sang penguasa duduk cantik di atas singgasana mengamati saat tepat untuk kembali memberi perintah bagi pengikut untuk melakukan panen. Panen pun dinikmati, tidak oleh semua, hanya untuk penguasa lahan dan pengikut setia serta tentu saja dengan para pihak yang menyumbang.
Pada masyarakat dengan bidang-bidang kekuasaan yang sempit, politik hanya menjadi perkakas para calon penguasa dan para penguasa mengeksploitasi bidang kekuasaan bak lahan pertanian.
Eksesnya, mayoritas anggota masyarakat yang berada di pinggir hanya menonton, itu pun penonton yang tidak sepenuhnya mengerti jalan cerita sebab jalan cerita hanya ada dalam kepala calon penguasa dan para konsultannya. Dikerahkan menuju arena saat puncak peperangan berlangsung (pemilihan umum) di mana para kontestan akan berebut tepuk tangan (pemilih).
Kontestan yang memperoleh tepuk tangan paling meriah akan keluar menjadi pemenang dan berhak menguasa calon lahan. Tidak mudah membuat para penonton bertepuk tangan untuk anda, perlu ketrampilan politik tingkat tinggi.
Kontestasi usai para penonton dipersilakan kembali ke rumah masing-masing untuk kembali menonton para penguasa membagi-bagi hasil panen. Keadaan semacam ini berarti dua hal bagi masyarakat; menjadi calon penguasa berikutnya atau cukup menonton saja. Demikianlah politik bekerja bila bidang kekuasaan sangat sempit.
Politik hanya perkakas yang bergantung pada penggunanya. Bila benar demikian itu artinya cukup dirubah penggunanya dengan internalisasi intensif prinsip-prinsip moralitas. Pengguna yang baik akan menjadikan perkakasnya bekerja untuk kebaikan.
Sayangnya politik berikut kekuasaan yang dikejarnya tidak diunduh dari ruang hampa yang selanjutnya diinstalasi pada dunia nan hidup ini. Keduanya tumbuh dari dalam tubuh masyarakat manusia dan melekat padanya sesuai jangka waktu kehidupannya.
Sebagai bagian dari tubuh tertentu, politik bergantung dengan arah gerak tubuh. Politik bergerak searah dengan gerak sang aktor. Pada gilirannya, aktor politik pun terikat hukum yang sama, mereka dapat membangun dunia tetapi tidak tepat seperti yang disukai. Mereka terbelit dalam jaring-jaring kondisi yang tak dapat dipilihnya.
Politik bekerja seturut pekerjaan sang aktor. Sang aktor bekerja dengan tunduk pada kondisi tertentu. Bila bidang kekuasaan sangat sempit maka semua pihak menggunakan perkakas politik untuk berebut bidang tersebut. Tujuan politik pun semata kekuasaan.
Perlu serangkaian perubahan untuk melampaui kinerja politik sebagaimana di atas. Perubahan perlu menyentuh dasar yaitu terbatasnya bidang kekuasaan itu. Perluasan bidang kekuasaan perlu dilakukan. Perluasan tersebut ditujukan supaya pelibatan seluruh masyarakat menjadi mungkin.
kaskus
Seluruh anggota masyarakat turut mengolah bidang kekuasaan. Hal ini akan memutus hubungan penguasa dan yang dikuasai. Penguasa dan yang dikuasai tiada lagi. Perebutan berdarah-darah dapat dihentikan dengan format penguasaan bersama dan berganti menjadi kerja sama. Hasil panen dinikmati bersama-sama. 
Politik telah berganti rupa dari perangkat calon penguasa dan para penguasa mengeksploitasi bidang kekuasaan untuk diri sendiri, menjadi perangkat seluruh masyarakat meningkatkan hasil panen untuk kenikmatan bersama.
Apakah kondisi semacam itu mungkin terwujud? Bagi penulis hal tersebut sangat mungkin. Syarat-syarat materiil dari kondisi tersebut telah tersedia saat ini. Dahulu para pakar berargumen bahwa keterlibatan seluruh masyarakat dalam pemerintahan adalah mustahil dan pelru diganti dengan mekanisme perwakilan. Dimanifestasikan dalam wujud kepala pemerintahan dan anggota parlemen mewakili masyarakat mengolah bidang kekuasaan, dan seterusnya.
Mereka adalah wakil yang diberi kesempatan untuk memiliki kekuasaan. Mayoritas masyarakat dibiasakan tidak peduli dengan urusan pemerintahan karena semuanya telah diwakilkan pada para penguasa. Periode kekuasaan yang dimiliki adalah kesempatan bagi para penguasa untuk menumpuk kekuatan yang nanti akan bermanfaat pada saat pemilihan dilangsungkan.
Terbentuklah politik dinasti dan oligarki politik di mana kekuasaan hanya berada di tangan segelintir orang saja. Melalui model perwakilan yang ada saat ini, susunan bidang kekuasaan yang dipergunakan pun tidak memberi kemungkinan bagi mayoritas masyarakat untuk menjadi bagian di dalamnya. Kekuasaan yang konon berada di tangan mayoritas rakyat hanya dongeng saat kekuasaan untuk mengendalikan para wakilnya menjadi tumpul.
Perluasan bidang kekuasaan dilakukan dalam bentuk pemangkasan kekuasaan para wakil, para wakil hanya berperan sebagai juru bicara hasil musyawarah masyarakat di level akar rumput. Masyarakat pun seharusnya berkuasa untuk memecat para wakilnya. Demikianlah cara masyarakat turut serta dalam pemerintahan. Pertanyaan berikutnya, jika itu mungkin diwujudkan lantas bagaimana cara mewujudkannya?
Caranya dengan mengubah peta peperangan yang dahulu terjadi antara Shakuni versus Shakuni menjadi Khrisna versus Shakuni. Mayoritas terpinggirkan ibarat Pandawa yang sabar lan nrimo lagi teraniaya yang harus bekerja sama dengan  dan belajar menjadi Khrisna sang politikus menghadapi oligarkhis Kurawa yang dilindungi Shakuni sang politikus.
Bagi penulis, politik yang buruk bukan untuk dibedaki dengan segala macam pencitraan. Kondisi yang mendeterminasikan keburukan tersebutlah yang harus diubah. Hal tersebut berarti cakrawarty (kedaulatan) harus dikembalikan ke tangan mayoritas masyarakat yang berada di pinggir. 
*pernah dimuat oleh qureta.com

Jumat, 22 Juli 2016

Memerdekakan Anak: Berikan Satu Hari Pada Keluarga



Memerdekakan Anak: Berikan Satu Hari Pada Keluarga[1]



Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu
-          Kahlil Gibran
Mengapa anakku bukan milikku? Tanya seorang suami selepas melirik bait puisi dalam buku yang sedang dibaca istrinya. Pertama, anak kita bukan barang; kedua, tidak pula obyek  hukum perdata; ketiga, anak kita anak manusia. Tanya-jawab imajiner sepasang orang tua tersebut di atas segalanya adalah imaji. Ibarat kegiatan produksi barang-barang yang membutuhkan bahan-bahan material yang nyata, imaji di atas pun adalah hasil kegiatan pengolahan (baca: berpikir)  bahan-bahan (baca: informasi) yang bersumber dari kenyataan. Walau berstatus imajiner, tidak lantas keseluruhan sama sekali imajinasi. Bagaimana pun juga imajinasi itu adalah tempat bagi kenyataaan mencermin dirinya.
Anak-anak bukan barang, anak-anak bukan obyek hukum perdata, singkatnya bukan obyek kepemilikan karena mereka adalah anak-anak manusia yang akan tumbuh menjadi manusia. Apa itu yang disebut dengan anak-anak manusia sehingga membuat segala klaim kepemilikan atasnya terbatalkan? Terkait jawaban atas pertanyaan ini, Ki Hadjar Dewantara mengadaptasikan sebuah pandangan yang selanjutnya berpengaruh besar pada gagasan beliau tentang pendidikan. Pandangan tersebut selanjutnya beliau perkenalkan dengan teori konvergensi. Anak manusia, menurut teori ini, terlahir seperti kertas yang telah penuh berisi tulisan, akan tetapi tulisan yang samar-samar. Anak-anak terlahir dengan membawa serta potensi serta bakat alamiahnya. Anak-anak manusia karenanya terhubung dengan kodrat tertentu dan dikenali di dalam hubungan tersebut.
Anak-anak manusia pun dapat dikenali lewat praksis sejarah manusia membentuk realitas sosialnya. Meski demikian, manusia tidak dapat sekehendaknya membentuk sejarah dan realitas sosialnya, hasil praksis tersebut berbalik mengkondisi kita. Freire selanjutnya berkesimpulan, jika kita yang membentuk realitas sosial dan sejarah, maka mengubah ralitas pun menjadi tugas kesejarahan dari kita. Dari terang pengertian demikian beliau menyatakan sebuah kondisi dari seseorang disebut manusiawi saat kita mengerti kedudukan kita dalam realitas masyarakat dan berkemampuan aktif mengubah realitas (penindasan) menjadi pro kemanusiaan. Ditegaskan, kita tidak akan menjadi benar-benar manusiawi tanpa praksis demikian.
Pada dasarnya manusia menjadi manusia seutuhnya saat menjadi manusia yang merdeka. Untuk itu, diperlukan lah pendidikan. Manusia merdeka saat menjadi manusia yang mandiri, tidak menjadi pelayan bagi kaum penindas (perampas kemerdekaan) dan berkemampuan aktif mengondisikan ulang realitas sosial agar selaras dengan kondisi kemanusiaannya. Manusia termerdekakan saat syarat-syaratnya telah terpenuhi, yaitu saat ia terhubung dengan bakat dan potensi kodratinya dan berani untuk bebas (berprakarsa). Pendidikan pun untuk memenuhi maksud tersebut hanya berperan menuntun serta diselenggarakan bersama, bukan hanya sekedar untuk, anak-anak manusia dan kita. Pendidik adalah penuntun sedang anak-anak adalah subyek aktif yang hidup, bukan ember kosong yang suka-suka pendidik hendak mengisinya dengan cairan apa pun. Ada pun yang dituntun adalah kekuatan bakat dan potensi kodrati yang ada pada anak-anak tersebut.

Keluarga Sebagai Pusat Pendidikan
Tugas manusia adalah menjadi manusia, demikian Freire. Bila usaha menjadi manusia bersifat kodrati maka proses itu pun telah melekat di dalam diri kita sejak lahir. Kenyataan hari ini, secara umum anak-anak terlahir di tengah apa yang kita sebut sebagai keluarga. Anak-anak menghabiskan sebagian waktu bertumbuhnya di tengah-tengah keluarga. Di atas telah disebutkan jika anak-anak membawa sesuatu yang kodrati sejak mula. Hal tersebut berarti bahwa hidup serta tumbuhnya berdasarkan kodrat yang dibawanya. Jika benar demikian, pendidikan menjadi kehilangan makna. Seluruh pihak tinggal bertawakal, berserah-pasrah, nrimo, menunggu sang anak menjemput takdirnya. Anak-anak dan kita adalah wayang karenanya tidak perlu bertanggung jawab atas apa pun.
Mengikutsertakan konsep kodrat dalam setiap pembicaraan memang beresiko menjerumuskan kita pada fatalisme. Anak-anak bukan lagi dianggap sebagai subyek aktif, melainkan subyek yang pasif. Mereka dianggap tetap hidup namun hidup dan tumbuh di bawah kendali hal-ikhwal kodrati. Segalanya di luar hal-ikhwal kodrati tersebut tidak memiliki daya untuk mengupayakan apa pun bagi tumbuh dan berkembangnya anak. Ini yang disebut dengan obyektivisme oleh Freire. Subyek tetap ada namun berperan menjadi wayang bagi obyektivitas yang menjadi dalangnya.
Seturut pandangan yang demikian, keluarga kehilangan perannya dalam sistem pendidikan. Keluarga pun berhak berpasrah total menunggu kemana pun gerak kodrat mengarahkan anak-anaknya. Analog pertumbuhan padi barangkali mampu menjawab pandangan tersebut. Keluarga diibaratkan Pak Tani yang menanam padi di sawah, padi dalam analog ini adalah anak-anak. Padi telah membawa kodratnya sebagai padi. Untuk memperoleh padi yang baik, Pak tani tidak dapat membiarkan begitu saja padi bertumbuh tanpa perawatan. Selain itu, faktanya, pengembangan varietas padi unggul pun dimungkinkan melalui perkembangan ilmu pengetahuan.
Apa yang ingin disampaikan analog tersebut adalah tentang batasan bagi kemungkinan dan apa yang mustahil dalam pendidikan anak dalam keluarga. Mungkin bagi Pak Tani untuk meningkatkan kulitas baik dalam padi melalui perawatan, mungkin pula keunggulan padi ditingkatkan melalui pengembangan varietas baru. Akan tetapi, mustahil bagi siapa pun mendapatkan padi berbuah gandum. Mungkin pula bagi keluarga menuntun anak memperkuat sisi baik potensi dan bakat kodratinya. Di sisi lain, mustahil pula bagi keluarga mengubah apa yang menjadi batas kodrati pada diri si anak, yaitu kodratnya sebagai subyek yang hidup dan berkemampuan aktif membentuk kenyataan dan sejarahnya dalam batasan-batasan kenyataan sosial dan alam. Disebut kodrati karena apabila kualitas tersebut dibelenggu atas nama pendidikan akan melahirkan perlawanan dari para pemilik kodrat. Pada batasan tersebut lah pihak pendidik diharapkan mampu berserah diri.
Bagaimana tujuan mendasar pendidikan secara umum demikian pula pendekatan yang akan dipergunakan  dalam mendidik anak. Pemimpin dalam keluarga demikian pula seluruh bagian dari keluarga berperan sebagai penuntun atau fasilitator bagi aktivitas pendidikan anak. Orang tua memegang peran kunci dalam konteks keluarga dengan formasi keluarga inti sebagaimana yang lazim eksis saat ini. Di samping karena faktor struktural, orang tua memiliki kualitas yang tak dimiliki guru atau pengajar sekolahan, yaitu apa yang disebut oleh ki Hadjar sebagai naluri pedagogis yang mewujud dalam keinginan naluriah memberikan apa pun untuk kebaikan anak-anaknya. Dalam panduan kualitas tersebut orang tua dapat berkedudukan sebagai guru yang menuntun, pengajar (transfer pengetahuan dan ketrampilan kerja) sekaligus teladan (utamanya dalam ketrampilan bersosialisasi). Kedudukan orang tua yang demikian pun dilandasi oleh kebutuhan (yang dapat dipenuhi oleh keluarga) akan penyaluran potensi, bakat dan aspek kodrati dari anak tidak hanya dalam pekerjaan pikiran tapi juga pekerjaan tubuh. Anak-anak dilibatkan dalam pekerjaan rumah tangga dengan porsi yang sesuai. Hal ini bertujuan mengantisipasi overdosis kegiatan berpikir yang memicu berkembangnya kecendrungan intelektualisme pada anak. Intelektualisme diyakini menjadi sumber persoalan seseorang dalam hidup bermasyarakat.
Keluarga dalam kondisinya yang ideal, dalam kenyataan saat ini, berperan sentral dalam usaha pencapaian sisi kodrati anak sebagai manusia. Di luar sana, kehidupan masyarakat di dalam jejaring kapitalisme global semakin kompetitif. Kita semua dituntut menganut profesionalisme dan menganggap yang lain jika bukan kompetitor pasti lah relasi bisnis. Tidak ada empati apalagi hubungan tanpa pamrih. Solidaritas sosial dimengerti sebagai barbarisme geng motor atau tawuran primordial dan sejenisnya. Kasih tulus sesama dipandang sebagai sentimentalisme naif. Pusat-pusat pendidikan di masyarakat mengadaptasikan norma-norma kapitalisme seperti persaingan antar peserta didik (individualisme) dan penanaman kesadaran adaptif terhadap sistem dominan di antara peserta didik, yakni dalam rupa pilihan berkarir sebagai pekerja atau usahawan. Peserta didik sulit berimajinasi di luar wacana dominan kapitalisme. Peserta didik pun selanjutnya mengalami penumpulan daya kreatif dan kodrat kemanusiaannya sebagai subyek aktif pembentuk serta pengubah realitas sosial.
Peran keluarga pada akhirnya semakin penting. Di dalam keluarga anak berpeluang  memperoleh suasana solider, kooperatif, empati dan kasih tulus. Sehingga, di dalam keluarga pula anak akan memperoleh pengalaman yang menuntunnya pada pengertian akan sisi kodratinya, sejauh keluarga berada pada kondisi yang sesuai untuk itu. Kondisi yang dimaksud tersebut ditandai dengan keberadaan demokrasi di dalam keluarga, partisipasi anak dalam kegiatan rumah, dan orang tua yang menuntun. Dewasa ini, sudah menjadi kebiasaan umum orang tua memperketat jadwal belajar tambahan di luar rumah. Situasi semacam itu malah semakin membuat relevan seruan Ki Hadjar berpuluh tahun lalu: “berikan lah satu hari untuk keluarga”. Satu hari dalam satu minggu adalah kebutuhan untuk memperkuat hubungan anak dan keluarganya. Menyesuaikan kondisi keluarga dengan kebutuhan penuntunan kekuatan sisi kodrati anak berarti memperbesar peluang kelahiran manusia-manusia merdeka.


[1] Dimuat oleh harian Bali Post edisi 9 Juli 2016 dengan berbagai penyesuaian oleh penulis.

Selasa, 03 November 2015

UJARAN KEBENCIAN DAN PROBLEM PENEGAKAN HAM[1]



Topik tentang ujaran kebencian ramai dibicarakan belakangan ini. Bermula dari keluarnya Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) pada 8 Oktober 2015. Surat edaran ini pada dasarnya ditujukan bagi kalangan internal dan merupakan tindakan afirmatif atas berbagai peraturan perundang-undangan yang ada seperti KHUP, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Selanjutnya apa yang dimengerti sebagai ujaran kebencian menurut SE Kapolri termanifestasi ke dalam bentuk-bentuk seperti penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas yang memiliki tujuan atau dapat berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan/atau konflik sosial, serta menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang terbedakan berdasarkan aspek suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual.

Sehingga, poin krusial surat edaran di atas sebenarnya inheren di dalam berbagai peraturan yang dijadikan rujukan, dan telah sejak lama dipersoalkan sejumlah pihak karena dianggap kontraproduktif terhadap proses demokratisasi yang tengah berlangsung. Demokrasi karenanya  menjadi wacana sentral dalam isu SE Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian.

Secara tradisional, menurut Tocqueville, gagasan mengenai demokrasi mencakup kebebasan dan persamaan sebagai elemennya. Elemen kebebasan sendiri, menurut Diamond, dapat dibedakan menjadi kebebasan sipil dan politik yang mewujud pada konsep HAM generasi pertama yang meliputi hak-hak sipil dan politik. Prinsip kebebasan tidak terlepas dari konteks historis kemenangan gagasan demokrasi dalam periode revolusi Perancis dan sederet kekalahan raja diInggris dalam berbagai perang saudara. Revolusi Perancis seperti yang diketahui, telah meruntuhkan struktur masyarakat feodal beserta formasi politik monarkhisnya yang absolutis. Segera setelah itu tumbuh berbagai gagasan yang konon diresapi oleh prinsip kebebasan (demokrasi), ide negara hukum dan konstitusionalisme di lapangan ketatanegaraan, trias politika pada bidang tata pemerintahan, HAM pada bidang politik kenegaraan dan laissez faire/liberalisme (kapitalisme) pada aspek ekonomi.

Terdapat benang merah yang mengindikasikan kesamaan sumber ide dari masing-masing gagasan di atas. Tiap-tiap gagasan tersebut mengandaikan pembatasan terhadap kekuasaan negara. Negara beserta aparaturnya apabila terlalu berkuasa diyakini akan mengancam kebebasan individu (di bidang sosial politik dan ekonomi) dan dengan demikian merupakan ancaman bagi demokrasi itu sendiri. Pembesaran kekuasaan negara pun karenanya berpotensi melanggar HAM. Perspektif ini yang selanjutnya dipergunakan dalam menyusun dokumen Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Jenis-jenis hak yang terhimpun dalam kovenan berkaitan dengan di antaranya persoalan diskriminasi rasial, agama, kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum, berserikat dan lain-lain. Hak-hak tersebut terkategori sebagai hak negatif yang berarti terdapat minimalisasi peran negara dalam ruang pribadi, hak-hak individu bersifat otonom dan dibebaskan dari campur tangan pihak manapun termasuk individu lain.

Di Indonesia, konstitusi mengadopsi gagasan HAM secara keseluruhan, hak-hak sipil dan politik warga memperoleh jaminan selama tidak menabrak hak dan kebebasan individu lain. Artinya konstitusi memberi kemungkinan pula bagi pembatasan implementasi HAM melalui undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketetiban umum (Pasal 28 J ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945). Pada titik ini terminologi ujaran kebencian memperoleh pemaknaan konstitusional, yaitu setiap tindakan baik lisan maupun tertulis yang berpotensi melanggar hak dan kebebasan individu atau kelompok lain.

Selama apa yang dimengerti sebagai ujaran kebencian dalam SE Kapolri tersebut adalah dalam rangka perlindungan relasi kebebasan tiap-tiap warga sebagaimana yang dimaksud konstitusi, tentu bukan soal. Persoalan akan mengemuka saat pihak kepolisian dalam menjalankan tugasnya justru merepresentasikan perluasan kekuatan aparatus represif. Dimisalkan dalam aspek prosedur formil pelaksanaan SE ini, personel kepolisian melakukan pengawasan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tindakan ini berpotensi menimbulkan suasana kecemasan di kalangan warga dalam menunaikan hak-hak konstitusionalnya. Bahkan Andi Arief, tokoh demokrasi, mensinyalir bahwa pendekatan tersebut memiliki kemiripan dengan cara-cara yang dipergunakan rezim Orde Baru dalam mengontrol aktivitas warganya.

Persoalan selanjutnya terletak pada dasar hukum dari SE tersebut, terutama yang berkaitan dengan pasal penghinaan dan pencemaran nama baik. Menurut Herlambang Perdana Wiratman, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, pada 2014 sebanyak 50 negara melakukan dekriminalisasi atau penghapusan atas delik defamasi (pencemaran nama baik) dari sistem hukum negaranya. Demikian halnya dengan PBB yang telah merekomendasikan penghapusan atas ketentuan tersebut. Penghapusan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan demokrasi saat ini. Hal ini dikonfirmasi oleh hasil penelitian Inter-American Commision on Human Right yang mencatat dalam Report on the compatibility of desacota laws with the American Convention on Human Rights yang menyebut bahwa hukuman pidana akan menjadi efek yang menakutkan dalam kemerdekaan berekspresi. Ini mengingatkan kita pula pada Prita Mulyasari yang sempat mengalami efek traumatis terhadap e-mail pasca penetapannya sebagai tersangka.

Kita tentu mendambakan demokrasi sehat yang tidak meminggirkan sebagian masyarakat melalui wacana kebencian sehingga hak dan kebebasannya sebagai warga negara terenggut. Namun, pemegang kuasa (negara/pemerintahan dalam arti luas) pun sudah seharusnya memikirkan pendekatan alternatif di luar pemidanaan untuk memastikan seluruh warga  menikmati hak dan kebebasannya tanpa gangguan. Melalui perluasan ruang demokrasi misalnya atau aksi-aksi edukatif sehingga tidak melulu penyehatan demokrasi dilakukan lewat ancaman maupun represi.






[1]Opini ini ditulis berdasarkan tinjauan normatif atas isu SE Kapolri tentang Penangan Ujaran Kebencian oleh Dewa Putu Adi Wibawa, SH. Pernah dimuat pada harian Bali Post Edisi 4 November 2015. Website: Bali Post

Minggu, 01 November 2015

(Mem)bela Negara Berkedaulatan Rakyat dan Pancasila[1]

Rencana implementasi program bela negara menuai kontroversi. Bagi para pendukungnya, program bela negara diyakini mampu mengkonstruksi semangat nasionalisme yang dianggap terdesak oleh dinamika global. Di satu pihak, pihak penentang mengelompok secara heterogen, yakni sebagian menjadi penentang bersyarat dan sebagain yang lain merupakan pihak yang menentang tanpa syarat. Persyaratan umumnya menyangkut kriteria teknis kelembagaan dan politik anggaran. Didasari keyakinan yang sama dengan kelompok pendukung, keberatan yang diajukan pun tidak menyentuh subtansi persoalan bahwa implementasi program bela negara sendiri memiliki permasalahan intrinsik. Para penentang tanpa syarat pada dasarnya mengajukan suatu kritik substantif. Substansi yang dipersoalkan mencakup isu yang cukup luas, dimulai dari indikasi upaya militerisasi sipil, potensi pelanggaran HAM dan  sampai pada landasan situasional kemendesakan hingga program ini perlu dengan segera diimplementasikan.

Penulis mengupayakan elaborasi atas wacana konstitusionalitas konsep bela negara dan relevansinya dengan dasar filosofi negara sebagaimana dimaksud para bapak bangsa. Dasar konstitusional program bela negara dapat ditemukan pada Pasal 27 Ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 yang menentukan hak dan kewajiban warga negara untuk turut serta dalam membela negara. Warga negara dengan demikian oleh konstitusi diwajibkan berpartisipasi di dalam setiap upaya pembelaan atas negara, dan oleh karena elemen kunci diskursus bela negara terletak pada negara itu sendiri, maka perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud oleh konstitusi sebagai negara.

Apa itu negara tidak dapat dengan mudah ditemukan dalam naskah konstitusi, tidak ada suatu rumusan eksplisit layaknya yang terdapat dalam bagian ketentuan umum suatu regulasi. Sehingga, perlu pembacaan sistematik atas keseluruhan bagian konstitusi. Muqadimmah (pembukaan) konstitusi menguraikan alasan penyusunan undang-undang dasar  negara Indonesia yang disebutkan bermuasal dari usaha pemenuhan tujuan dari pembentukan suatu pemerintah negara Indonesia itu sendiri sekaligus manifestasi atas kemerdekaan bangsa. Tujuan yang dimaksud terdiri dari 4 rumusan tujuan yang terkenal itu; pertama, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; kedua, memajukan kesejahteraan umum; ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa; dan keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Singkatnya, sebagaimana maksud pembukaan, segala usaha mencapai tujuan di atas pada tahap selanjutnya diorganisasikan dalam bentuk susunan negara Republik Indonesia. Negara yang bagaimana? Negara yang berkedaulatan rakyat dengan dasar Pancasila. 

Pembicaraan mengenai negara dalam konteks konstitusi, dengan demikian, melibatkan unsur-unsur seperti: paradigma anti penjajahan (lihat paragraf awal pembukaan), kemerdekaan, perjuangan kemerdekaan, tujuan negara Indonesia merdeka, kedaulatan rakyat dan Pancasila. Perspektif  Bung Karno (BK) sangat relevan untuk meninjau persoalan ini. Secara teoritis, BK memulai kajiannya, negara merupakan organisasi kekuasaan atau dengan kata lain kekuasaan yang terorganisasikan sedemikian rupa sehingga pemegang kekuasaan dapat meraih tujuannya melalui keberadaan negara tersebut. Sebagai misal negara Hindia Belanda pra kemerdekaan, tuan kolonial berlaku sebagai penguasa yang menggunakan instrumen negara untuk menjalankan praktik penghisapan dalam rupa modus kolonialisme  yang kemudian berlanjut dengan kapitalisme-kolonial. Tingkah dan laku negara Hindia Belanda niscaya mengekspresikan tujuan pihak penguasa.

Pendirian Negara Republik Indonesia pertama-tama dimaksudkan untuk menegasi keberadaan negara kolonial atau bentuk penjajahan lainnya, penekanan ini diafirmasi oleh para pendiri bangsa di dalam pembukaan konstitusi dengan penegasan bahwa “...kemerdekaan ialah hak segala bangsa...” dan sebab itu perlu ”..dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusia dan pri keadilan.” Penegasan semacam itu selaras dengan pandangan BK bahwa Negara Indonesia Merdeka adalah organisasi-nya bangsa Indonesia yang berhasil merebut kekuasaan dari kontrol kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang. Disebutkannya pula bahwa berdirinya Negara Republik Indonesia, bangsa Indonesia berada pada fase perjuangan lebih tinggi dibanding sebelumnya. Disebut lebih tinggi karena bangsa Indonesia telah memasuki medan pertempuran baru, yakni menemukan dan mengatasi sumber persoalan bangsa. Negara Republik Indonesia lantas dipandang sebagai alat perjuangan yang lebih maju dibanding  dengan partai politik atau organisasi massa yang dipergunakan bangsa Indonesia pada saat melawan kolonialisme Belanda.
Jejak paradigma tersebut dapat dengan mudah diketemukan dalam naskah konstitusi kita, terutama sekali bagian pembukaan yang selanjutnya dijabar ke dalam rumusan pasal-pasal. Tujuan utama pendirian negara, telah disampaikan di muka, dapat dijumpai dalam alinea keempat pembukaan. Negara yang akan dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut adalah negara berkedaulatan rakyat dengan dasar Pancasila. Dasar-dasar yang dicakup dalam Pancasila sendiri terdiri dari berbagai prinsip.

Apabila dibandingkan dengan wacana yang berkembang di beberapa kalangan, apa yang dikehendaki konstitusi sebagai pembelaan atas negara seakan direduksi semata-mata ke dalam persoalan nasionalisme semata. Padahal telah jelas bahwa negara yang dimaksud konstitusi yang warganya berhak sekaligus wajib membela adalah negara berkedaulatan rakyat berdasar Pancasila. Menggunakan nalar pendiri bangsa, pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi atas negara adalah rakyat Indonesia. Pancasila sebagai dasar pun tidak hanya mengandung prinsip nasionalisme semata, terdapat prinsip-prinsip lain yang bertalian secara dialektis satu sama lain di dalamnya. Ini berarti bahwa konsep bela negara tidak semata-mata ditujukan pada pembelaan atas negara sebagai negara, melainkan negara sebagai organisasi-nya rakyat atau dengan kata lain membela rakyat itu sendiri.

Opini penulis akan ditutup dengan pertanyaan berikut:  “apakah bela negara hanya bermakna perlawanan atas agresi asing?”. “Apakah bela negara bertujuan untuk menciptakan stabilitas politik?”. “Apakah mogok kerja yang dilakukan karyawan bukan termasuk bela negara?”.”Aksi mahasiswa menentang UU Sisdiknas, kenaikan tarif dasar listrik atau privatisasi BUMN tidak dapat digolongkan sebagai tindakan bela negara atau malah dianggap sebaliknya?”. Jawabannya tersedia alam pemahaman yang jernih bahwa negara bukan berhala yang harus disembah-sembah. Negara berdiri untuk kepentingan rakyat (berkedaulatan rakyat) serta rakyat membela negara karena negara ada untuk rakyat dan bukan sebaliknya.


[1] Dimuat pada harian Bali Post edisi 24 Oktober 2015/http://balipost.realviewdigital.com/?iid=130690&startpage=page0000006