Selasa, 03 November 2015

UJARAN KEBENCIAN DAN PROBLEM PENEGAKAN HAM[1]



Topik tentang ujaran kebencian ramai dibicarakan belakangan ini. Bermula dari keluarnya Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) pada 8 Oktober 2015. Surat edaran ini pada dasarnya ditujukan bagi kalangan internal dan merupakan tindakan afirmatif atas berbagai peraturan perundang-undangan yang ada seperti KHUP, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Selanjutnya apa yang dimengerti sebagai ujaran kebencian menurut SE Kapolri termanifestasi ke dalam bentuk-bentuk seperti penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas yang memiliki tujuan atau dapat berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan/atau konflik sosial, serta menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang terbedakan berdasarkan aspek suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual.

Sehingga, poin krusial surat edaran di atas sebenarnya inheren di dalam berbagai peraturan yang dijadikan rujukan, dan telah sejak lama dipersoalkan sejumlah pihak karena dianggap kontraproduktif terhadap proses demokratisasi yang tengah berlangsung. Demokrasi karenanya  menjadi wacana sentral dalam isu SE Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian.

Secara tradisional, menurut Tocqueville, gagasan mengenai demokrasi mencakup kebebasan dan persamaan sebagai elemennya. Elemen kebebasan sendiri, menurut Diamond, dapat dibedakan menjadi kebebasan sipil dan politik yang mewujud pada konsep HAM generasi pertama yang meliputi hak-hak sipil dan politik. Prinsip kebebasan tidak terlepas dari konteks historis kemenangan gagasan demokrasi dalam periode revolusi Perancis dan sederet kekalahan raja diInggris dalam berbagai perang saudara. Revolusi Perancis seperti yang diketahui, telah meruntuhkan struktur masyarakat feodal beserta formasi politik monarkhisnya yang absolutis. Segera setelah itu tumbuh berbagai gagasan yang konon diresapi oleh prinsip kebebasan (demokrasi), ide negara hukum dan konstitusionalisme di lapangan ketatanegaraan, trias politika pada bidang tata pemerintahan, HAM pada bidang politik kenegaraan dan laissez faire/liberalisme (kapitalisme) pada aspek ekonomi.

Terdapat benang merah yang mengindikasikan kesamaan sumber ide dari masing-masing gagasan di atas. Tiap-tiap gagasan tersebut mengandaikan pembatasan terhadap kekuasaan negara. Negara beserta aparaturnya apabila terlalu berkuasa diyakini akan mengancam kebebasan individu (di bidang sosial politik dan ekonomi) dan dengan demikian merupakan ancaman bagi demokrasi itu sendiri. Pembesaran kekuasaan negara pun karenanya berpotensi melanggar HAM. Perspektif ini yang selanjutnya dipergunakan dalam menyusun dokumen Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Jenis-jenis hak yang terhimpun dalam kovenan berkaitan dengan di antaranya persoalan diskriminasi rasial, agama, kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum, berserikat dan lain-lain. Hak-hak tersebut terkategori sebagai hak negatif yang berarti terdapat minimalisasi peran negara dalam ruang pribadi, hak-hak individu bersifat otonom dan dibebaskan dari campur tangan pihak manapun termasuk individu lain.

Di Indonesia, konstitusi mengadopsi gagasan HAM secara keseluruhan, hak-hak sipil dan politik warga memperoleh jaminan selama tidak menabrak hak dan kebebasan individu lain. Artinya konstitusi memberi kemungkinan pula bagi pembatasan implementasi HAM melalui undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketetiban umum (Pasal 28 J ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945). Pada titik ini terminologi ujaran kebencian memperoleh pemaknaan konstitusional, yaitu setiap tindakan baik lisan maupun tertulis yang berpotensi melanggar hak dan kebebasan individu atau kelompok lain.

Selama apa yang dimengerti sebagai ujaran kebencian dalam SE Kapolri tersebut adalah dalam rangka perlindungan relasi kebebasan tiap-tiap warga sebagaimana yang dimaksud konstitusi, tentu bukan soal. Persoalan akan mengemuka saat pihak kepolisian dalam menjalankan tugasnya justru merepresentasikan perluasan kekuatan aparatus represif. Dimisalkan dalam aspek prosedur formil pelaksanaan SE ini, personel kepolisian melakukan pengawasan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tindakan ini berpotensi menimbulkan suasana kecemasan di kalangan warga dalam menunaikan hak-hak konstitusionalnya. Bahkan Andi Arief, tokoh demokrasi, mensinyalir bahwa pendekatan tersebut memiliki kemiripan dengan cara-cara yang dipergunakan rezim Orde Baru dalam mengontrol aktivitas warganya.

Persoalan selanjutnya terletak pada dasar hukum dari SE tersebut, terutama yang berkaitan dengan pasal penghinaan dan pencemaran nama baik. Menurut Herlambang Perdana Wiratman, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, pada 2014 sebanyak 50 negara melakukan dekriminalisasi atau penghapusan atas delik defamasi (pencemaran nama baik) dari sistem hukum negaranya. Demikian halnya dengan PBB yang telah merekomendasikan penghapusan atas ketentuan tersebut. Penghapusan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan demokrasi saat ini. Hal ini dikonfirmasi oleh hasil penelitian Inter-American Commision on Human Right yang mencatat dalam Report on the compatibility of desacota laws with the American Convention on Human Rights yang menyebut bahwa hukuman pidana akan menjadi efek yang menakutkan dalam kemerdekaan berekspresi. Ini mengingatkan kita pula pada Prita Mulyasari yang sempat mengalami efek traumatis terhadap e-mail pasca penetapannya sebagai tersangka.

Kita tentu mendambakan demokrasi sehat yang tidak meminggirkan sebagian masyarakat melalui wacana kebencian sehingga hak dan kebebasannya sebagai warga negara terenggut. Namun, pemegang kuasa (negara/pemerintahan dalam arti luas) pun sudah seharusnya memikirkan pendekatan alternatif di luar pemidanaan untuk memastikan seluruh warga  menikmati hak dan kebebasannya tanpa gangguan. Melalui perluasan ruang demokrasi misalnya atau aksi-aksi edukatif sehingga tidak melulu penyehatan demokrasi dilakukan lewat ancaman maupun represi.






[1]Opini ini ditulis berdasarkan tinjauan normatif atas isu SE Kapolri tentang Penangan Ujaran Kebencian oleh Dewa Putu Adi Wibawa, SH. Pernah dimuat pada harian Bali Post Edisi 4 November 2015. Website: Bali Post

Minggu, 01 November 2015

(Mem)bela Negara Berkedaulatan Rakyat dan Pancasila[1]

Rencana implementasi program bela negara menuai kontroversi. Bagi para pendukungnya, program bela negara diyakini mampu mengkonstruksi semangat nasionalisme yang dianggap terdesak oleh dinamika global. Di satu pihak, pihak penentang mengelompok secara heterogen, yakni sebagian menjadi penentang bersyarat dan sebagain yang lain merupakan pihak yang menentang tanpa syarat. Persyaratan umumnya menyangkut kriteria teknis kelembagaan dan politik anggaran. Didasari keyakinan yang sama dengan kelompok pendukung, keberatan yang diajukan pun tidak menyentuh subtansi persoalan bahwa implementasi program bela negara sendiri memiliki permasalahan intrinsik. Para penentang tanpa syarat pada dasarnya mengajukan suatu kritik substantif. Substansi yang dipersoalkan mencakup isu yang cukup luas, dimulai dari indikasi upaya militerisasi sipil, potensi pelanggaran HAM dan  sampai pada landasan situasional kemendesakan hingga program ini perlu dengan segera diimplementasikan.

Penulis mengupayakan elaborasi atas wacana konstitusionalitas konsep bela negara dan relevansinya dengan dasar filosofi negara sebagaimana dimaksud para bapak bangsa. Dasar konstitusional program bela negara dapat ditemukan pada Pasal 27 Ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 yang menentukan hak dan kewajiban warga negara untuk turut serta dalam membela negara. Warga negara dengan demikian oleh konstitusi diwajibkan berpartisipasi di dalam setiap upaya pembelaan atas negara, dan oleh karena elemen kunci diskursus bela negara terletak pada negara itu sendiri, maka perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud oleh konstitusi sebagai negara.

Apa itu negara tidak dapat dengan mudah ditemukan dalam naskah konstitusi, tidak ada suatu rumusan eksplisit layaknya yang terdapat dalam bagian ketentuan umum suatu regulasi. Sehingga, perlu pembacaan sistematik atas keseluruhan bagian konstitusi. Muqadimmah (pembukaan) konstitusi menguraikan alasan penyusunan undang-undang dasar  negara Indonesia yang disebutkan bermuasal dari usaha pemenuhan tujuan dari pembentukan suatu pemerintah negara Indonesia itu sendiri sekaligus manifestasi atas kemerdekaan bangsa. Tujuan yang dimaksud terdiri dari 4 rumusan tujuan yang terkenal itu; pertama, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; kedua, memajukan kesejahteraan umum; ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa; dan keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Singkatnya, sebagaimana maksud pembukaan, segala usaha mencapai tujuan di atas pada tahap selanjutnya diorganisasikan dalam bentuk susunan negara Republik Indonesia. Negara yang bagaimana? Negara yang berkedaulatan rakyat dengan dasar Pancasila. 

Pembicaraan mengenai negara dalam konteks konstitusi, dengan demikian, melibatkan unsur-unsur seperti: paradigma anti penjajahan (lihat paragraf awal pembukaan), kemerdekaan, perjuangan kemerdekaan, tujuan negara Indonesia merdeka, kedaulatan rakyat dan Pancasila. Perspektif  Bung Karno (BK) sangat relevan untuk meninjau persoalan ini. Secara teoritis, BK memulai kajiannya, negara merupakan organisasi kekuasaan atau dengan kata lain kekuasaan yang terorganisasikan sedemikian rupa sehingga pemegang kekuasaan dapat meraih tujuannya melalui keberadaan negara tersebut. Sebagai misal negara Hindia Belanda pra kemerdekaan, tuan kolonial berlaku sebagai penguasa yang menggunakan instrumen negara untuk menjalankan praktik penghisapan dalam rupa modus kolonialisme  yang kemudian berlanjut dengan kapitalisme-kolonial. Tingkah dan laku negara Hindia Belanda niscaya mengekspresikan tujuan pihak penguasa.

Pendirian Negara Republik Indonesia pertama-tama dimaksudkan untuk menegasi keberadaan negara kolonial atau bentuk penjajahan lainnya, penekanan ini diafirmasi oleh para pendiri bangsa di dalam pembukaan konstitusi dengan penegasan bahwa “...kemerdekaan ialah hak segala bangsa...” dan sebab itu perlu ”..dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusia dan pri keadilan.” Penegasan semacam itu selaras dengan pandangan BK bahwa Negara Indonesia Merdeka adalah organisasi-nya bangsa Indonesia yang berhasil merebut kekuasaan dari kontrol kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang. Disebutkannya pula bahwa berdirinya Negara Republik Indonesia, bangsa Indonesia berada pada fase perjuangan lebih tinggi dibanding sebelumnya. Disebut lebih tinggi karena bangsa Indonesia telah memasuki medan pertempuran baru, yakni menemukan dan mengatasi sumber persoalan bangsa. Negara Republik Indonesia lantas dipandang sebagai alat perjuangan yang lebih maju dibanding  dengan partai politik atau organisasi massa yang dipergunakan bangsa Indonesia pada saat melawan kolonialisme Belanda.
Jejak paradigma tersebut dapat dengan mudah diketemukan dalam naskah konstitusi kita, terutama sekali bagian pembukaan yang selanjutnya dijabar ke dalam rumusan pasal-pasal. Tujuan utama pendirian negara, telah disampaikan di muka, dapat dijumpai dalam alinea keempat pembukaan. Negara yang akan dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut adalah negara berkedaulatan rakyat dengan dasar Pancasila. Dasar-dasar yang dicakup dalam Pancasila sendiri terdiri dari berbagai prinsip.

Apabila dibandingkan dengan wacana yang berkembang di beberapa kalangan, apa yang dikehendaki konstitusi sebagai pembelaan atas negara seakan direduksi semata-mata ke dalam persoalan nasionalisme semata. Padahal telah jelas bahwa negara yang dimaksud konstitusi yang warganya berhak sekaligus wajib membela adalah negara berkedaulatan rakyat berdasar Pancasila. Menggunakan nalar pendiri bangsa, pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi atas negara adalah rakyat Indonesia. Pancasila sebagai dasar pun tidak hanya mengandung prinsip nasionalisme semata, terdapat prinsip-prinsip lain yang bertalian secara dialektis satu sama lain di dalamnya. Ini berarti bahwa konsep bela negara tidak semata-mata ditujukan pada pembelaan atas negara sebagai negara, melainkan negara sebagai organisasi-nya rakyat atau dengan kata lain membela rakyat itu sendiri.

Opini penulis akan ditutup dengan pertanyaan berikut:  “apakah bela negara hanya bermakna perlawanan atas agresi asing?”. “Apakah bela negara bertujuan untuk menciptakan stabilitas politik?”. “Apakah mogok kerja yang dilakukan karyawan bukan termasuk bela negara?”.”Aksi mahasiswa menentang UU Sisdiknas, kenaikan tarif dasar listrik atau privatisasi BUMN tidak dapat digolongkan sebagai tindakan bela negara atau malah dianggap sebaliknya?”. Jawabannya tersedia alam pemahaman yang jernih bahwa negara bukan berhala yang harus disembah-sembah. Negara berdiri untuk kepentingan rakyat (berkedaulatan rakyat) serta rakyat membela negara karena negara ada untuk rakyat dan bukan sebaliknya.


[1] Dimuat pada harian Bali Post edisi 24 Oktober 2015/http://balipost.realviewdigital.com/?iid=130690&startpage=page0000006