Rabu, 09 Mei 2012

PENDIDIKAN: PERSAINGAN ATAU KERJA SAMA?


jagadmotivasi.com

hutantropis.com
Bila ada tema eksternal yang paling kerap dijadikan topik sela dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, maka topik tentang globalisasi mungkin menjadi juaranya. Tema ini sebenarnya masih dalam perdebatan, pada ranah teori, para teoritikus berebut sahih atas pendapat-pendapat mereka mengenai apa yang dimaksud dengan globalisasi itu. Mengutip James Petras, terdapat tiga jenis argumentasi mengenai apa itu globalisasi. Pertama, globalisasi sebagai implikasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; kedua,  berkenaan dengan dinamika pasar dunia; dan ketiga, salah satu tahap perkembangan sistem kapitalisme.

Petras sebagaimana kalangan non-mainstream lainnya, memandang globalisasi tidak dapat dipisahkan dari konteks kesejarahan perkembangan sistem kapitalisme. Kapitalisme dianggap menjadi pendorong proses globalisasi. Diprakondisikan oleh di satu sisi, transformasi teknik produksi dalam bentuk industrialisasi yang pada gilirannya menciptakan relasi sosial ekonomi baru dari yang tadinya bercorak feodalistik menjadi kapitalistik. Dan konektifitas susunan perekonomian wilayah tertentu dalam suatu jaringan perdagangan lintas wilayah di lain sisi. Sehingga, perekonomian tidak lagi berorientasi pada produksi kebutuhan subsisten melainkan telah berkembang pada produksi komoditi. Dialektika beragam sisi tersebut menyusun sistem kapitalisme.

Pada fase sebelum dan awal perkembangan kapitalisme, globalisasi menurut Raharjo, identik dengan kolonialisme dalam rupa aneksasi teritorial dengan tujuan penguasaan atas sumber daya ekonomi pada negeri-negeri yang lemah. Selanjutnya, perkembangan mutakhir dari kapitalisme membawa globalisasi pada pemaknaan baru, yaitu neoliberalisme. Aktor globalisasi bukan lain adalah Perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional yang dibekingi oleh lembaga-lembaga internasional seperti WTO, IMF dan WB serta negara-negara induk mereka terutama Amerika Serikat dan sekutunya. Tentu saja pengertian tentang globalisasi di atas berbeda dengan pandangan tentang globalisasi yang berkiblat pada prinsip bebas nilai. Globalisasi dimengerti sebagai proses yang wajar dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pandangan ini berimplikasi pada anggapan bahwa globalisasi merupakan sebuah proses natural.

Pengertian globalisasi yang terakhir lah memperoleh tempat di kelas-kelas. Diajarkan bahwa globalisasi merupakan keniscayaan, sebagaimana matahari yang niscaya tenggelam di barat. Sesuatu yang tidak terkait dengan dialektika kekuatan-kekuatan global kecuali hanya dampak dari perkembangan peradaban maasyarakat manusia. Globalisasi beserta karakter intrinsiknya dianggap netral terhadap wacana moral. Perbincangan di kelas pun pada dasarnya sadar bahwa globalisasi dalam praktiknya termanifestasi ke dalam proses pembentukan formasi pasar bebas hambatan pada berbagai level. Dalam suatu wawancara eksklusif misalnya salah satu pimpinan IMF menyatakan ketiadaan korelasi antara realitas ketimpangan global dengan proses globalisasi. Bila pun terdapat ketimpangan semacam itu, penyebabnya adalah faktor internal negara-negara tertentu, seperti kompleksitas birokrasi, korupsi dan faktor-faktor lain yang dapat memicu inefisiensi perekonomian. Kunci kemakmuran dengan demikian terletak pada efisiensi.

Efisiensi diyakini dapat terwujud pada saat perekonomian dikoordinasikan oleh mekanisme pasar bebas yang sedapat mungkin minimal dari campur tangan kekuatan non-pasar. Ide Smithian tentang pasar bebas mengambil spirit kaum fisiokratis yang menganjurkan pembiaran pada pasar untuk bekerja secara alami. Naturalitas pada mekanisme pasar mengacu pada persaingan bebas di antara berbagai kekuatan yang bekerja di dalamnya. Menurut Sri-Edi Swasono di dalam banyak karyanya, inti dari apa yang disebut persaingan bebas adalah individualisme. Wajar apabila penerapan pasar bebas secara praktis memiliki arti bahwa negara-negara dunia ketiga membiaya lebih untuk tercapainya efisiensi dunia. Konsep semacam inilah yang disebut sebagai free fight liberalism dan ditolak mentah-mentah oleh para pendiri republik. Ditolak karena, sistem yang akan dihasilkannya berwatak eksploitatif terhadap manusia atau bangsa lain dan tidak terikat pada nilai-nilai atau moralitas apa pun selain tercapainya profit sebesar-besarnya.

Seakan dipandu oleh pejabat tinggi IMF tersebut, para pengajar dan sejumlah pihak terus menerus mereproduksi wacana penerimaan atas persaingan. Dari mulai penceritaan dongeng tentang globalisasi bebas nilai, hingga diselenggarakannya berbagai pelatihan soft skill untuk menghadapi kancah peersaingan bebas. Tak ada jalan lain, globalisasi alias pasar bebas mesti dihadapi. Caranya adalah dengan memotivasi peserta didik sedemikian rupa sehingga menjadi individu yang tahan banting menghadapi itu.  Muncul kemudian konstruksi wacana tipologi individu ideal, manusia Amerika-Eropa yang rasionalis-liberal, individu yang berwatak entrepreneur. Ini lah solusi kapitalistik atas pergeseran kapitalisme dalam rupa finansialisasi yang berdampak pada deindustrialisasi di level nasional, pertanda buruk buruk bagi prospek sektor produktif bahkan kuantitas lapangan pekerjaan. Solusi demikian lantas  segera menjadi sikap umum berbagai institusi pendidikan. 

Tentu saja apa pun itu yang akan dipersiapkan (diklaim) sebagai jalan keluar merupakan suatu ekspresi paradigmatik. Mencermati kecendrungan di atas, liberalisme sepertinya telah menjadi paradigma umum sistem pendidikan, sebagaimana telah lama disinyalir oleh para pemerhati pendidikan. Perlu dikemukakan dalam kesempatan ini bahwa liberalisasi tidak berkaitan semata dengan penetrasi pasar pada sektor pendidikan, pengadopsian paradigma liberal pun menjadi bagiannya. Hal ini diindikasikan oleh semakin maraknya berbagai seminar dan pelatihan kewirausahaan di seantero institusi pendidikan serta menggelegarnya suara para motivator bisnis di layar-layar kaca. Adalah mencetak sebanyak-banyaknya wirausahawan baru yang melulu berpikir tentang profit, bukan yang lain, dianggap satu-satunya jalan keluar, setidaknya demikian ujar mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan bidang jurusan Ilmu Ekonomi salah satu PTS di Yogyakarta baru-baru ini.

Mansour Fakih dkk misalnya dalam konteks di atas mengetengahkan Achievement Motivation Training karya David McClelland yang terkenal itu, untuk memberi contoh terapan paradigma liberalisme dalam penyelenggaraan pendidikan. McClelland dalam menyusun karyanya tersebut didasari sebuah stereotifikasi bahwa bangsa-bangsa dunia ketiga tidak mewarisi spirit Etika Protestan (dalam pemahaman Weberian) yang dipercaya menjadi sumber pertumbuhan ekonomi barat pada perkembangan mula-mula kapitalisme. Sehingga, berdasarkan pandangan demikian, untuk menyelesaikan persoalan dunia ketiga karenanya perlu diinjeksikan apa yang disebut dengan mentalitas The Need for Achievement. Ditargetkan dengan demikian masyarakat dunia ketiga akan bermetamorfosa menjadi individu-individu agressif dan rasional (Mansour Fakih dkk: 2007, 26). Secara sederhana, bila inefisiensi menjadi pokok persoalan maka jawabannya adalah menciptakan syarat kondisional yang layak bagi bagi tersusunnya perekonomian pasar kapitalistik yang efisien. Salah satunya sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Alur berpikir demikian pula yang diyakini sebagai benar oleh banyak pengajar dan konseptor pendidikan di Indonesia.

Secara normatif, memilih beradaptasi pada konsep dan praktik persaingan sama saja artinya melanggengkan individualisme. Ini bukan tentang perdebatan seputar dampak pemberlakuan skema Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Argumentasi masing-masing pihak baik pembela maupun penentang sama kuatnya. Seperti tercermin dalam sikap skeptis beberapa kalangan tentang kapasitas fundamental ekonomi dan kualitas sumber daya manusia. Atau optimisme diimbuhi argumen meyakinkan bapak Wakil Presiden tentang keuntungan yang dipetik Indonesia dari diberlakukannya MEA. Sehingga, tulisan ini tidak dimaksudkan menebar pesimisme negatif tentang kemampuan bangsa Indonesia dalam bersaing. Tulisan ini hanya berniat menelanjangi watak ekploitatif berbasis individualisme yang intrinsik dalam sistem pasar bebas dan dasar paradigmatiknya.

Namun demikian lah faktanya, banyak pihak telah menjadi gandrung, seakan hubungan kemasyarakatan hanya semata-mata berisi persaingan. Padahal selama berabad-abad kita telah menjalankan prinsip demokrasi permusyawaratan di bidang politik dan kerja sama di hampir seluruh bidang, fakta semacam ini terekam dalam berbagai karya pemikiran Hatta tentang demokrasi desa. Seakan kita lupa terhadap tafsir otentik bung Karno bahwa Pancasila pada dasarnya berinti pada Ekasila, yakni gotong royong. Sehingga, negara Indonesia merdeka pun harus diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip kerja sama dan bukan persaingan. Ironis di saat Pancasila masih menjadi mata pelajaran dan mata kuliah wajib pada institusi pendidikan kita. Peserta didik justru terinternalisasi oleh nilai-nilai individualis, ditempa selama tahun-tahun pendidikannya dalam suatu arena persaingan berebut menjadi yang terbaik (baca: peringkat kelas) dan dalam banyak kasus dilarang keras bekerja sama, terutama saat ujian akhir berlangsung.

Bertolak belakang dengan kondisi pendidikan saat ini, praktik pendidikan di Indonesia terutama di sekitar masa dan dilakukan oleh kaum pergerakan nasional sebenarnya berkarakter kritis. Kritik terhadap eksploitasi dan sistem pendidikan kolonial menjadi wacana umum ketika itu. Ki Hadjar Dewantara sendiri dengan Pancadarma Taman Siswanya yang berprinsip bahwa pendidikan harus menyangkut kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan, oleh sementara pihak dinobatkan sebagai tokoh pendidikan kritis pertama di dunia. Bukan hanya itu, di kemudian hari pun beliau ditetapkan menjadi bapak pendidikan bangsa. Sejarah mencatat pula tidak hanya berkutat pada praksis pendidikan, beliau pun dapat disebut sebagai aktivis pergerakan kemerdekaan. Siapa yang lupa dengan tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seadainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen mar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) yang memuat kritik keras terhada pemerintahan kolonial Belanda. Sebagaimana paradigma pendidikan kritis, beliau mengungkap watak eksploitatif dari sistem kolonialisme (globalisasi awal) dan metode pendidikannya, lalu menawarkan konsep pendidikan transformatif (kebangsaan).

Melihat fakta sejarah di atas, refleksi kritis di hari ulang tahun Ki Hadjar sekaligus Hari Pendidikan Nasional ini dapat dimulai dengan ajuan pertanyaan: jika prinsip pasar bebas dan persaingan beserta ruh individualismenya baik secara normatif dan faktual, bertentangan dengan jiwa Pancasila (dasar negara) dan nyata-nyata menghasilkan ketimpangan global melalui modus eksploitasi pihak bermodal terhadap mereka yang bermodal lemah dan tak bermodal, lantas mengapa prinsip persaingan dan individualisme masih diakomodir dalam aktivitas pendidikan kita? Kritik selanjutnya pun sudah sepantasnya diarahkan terhadap sistem pendidikan itu sendiri, untuk mengungkap watak konservatif (pro status quo) dan liberal (pro pasar bebas, persaingan dan individualisme) lalu menemukan jalan untuk mentransformasi paradigma sistem pendidikan nasional menjadi sistem pendidikan yang mampu membentuk peserta didik yang kritis terhadap penindasan serta peka terhadap moralitas kerja sama dan keadilan.


Daftar Pustaka
1.       
      Mansour Fakih dkk, Pendidikan Kritis: Membangun Kesadaran Kritis (Insist Press: Yogyakarta,  2007).
2.      James Petras dan Henry Veltmeyer, Menelanjangi Globalisasi: Sepak Terjang Imperialisme di Abad 21 (Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2014).
3.      Ki Hadjar Dewantara,  Karya Bagian I: Pendidikan  (MLPTS: Yogyakarta, cet. II, 1962),




[i] Disusun oleh Dewa PAW sebagai pemandu diskusi peringatan HUT Ki Hadjar Dewantara dan Hari Pendidikan Nasional di Komunitas Kedip.