jagadmotivasi.com |
hutantropis.com |
Bila ada tema eksternal yang paling kerap dijadikan topik
sela dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, maka topik tentang globalisasi
mungkin menjadi juaranya. Tema ini sebenarnya masih dalam perdebatan, pada ranah teori, para teoritikus berebut sahih atas pendapat-pendapat
mereka mengenai apa yang
dimaksud dengan globalisasi itu. Mengutip James Petras, terdapat tiga jenis
argumentasi mengenai apa itu globalisasi. Pertama, globalisasi sebagai
implikasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; kedua, berkenaan dengan dinamika pasar dunia; dan
ketiga, salah satu tahap perkembangan sistem kapitalisme.
Petras sebagaimana kalangan non-mainstream lainnya, memandang
globalisasi tidak dapat dipisahkan dari konteks kesejarahan perkembangan sistem
kapitalisme. Kapitalisme dianggap menjadi pendorong proses globalisasi.
Diprakondisikan oleh di satu sisi, transformasi teknik produksi dalam bentuk
industrialisasi yang pada gilirannya menciptakan relasi sosial ekonomi baru
dari yang tadinya bercorak feodalistik menjadi kapitalistik. Dan konektifitas susunan perekonomian
wilayah tertentu dalam suatu jaringan perdagangan lintas wilayah di lain sisi. Sehingga, perekonomian tidak
lagi berorientasi pada produksi kebutuhan subsisten melainkan telah berkembang
pada produksi komoditi. Dialektika beragam sisi tersebut menyusun sistem
kapitalisme.
Pada fase sebelum dan awal perkembangan kapitalisme,
globalisasi menurut Raharjo, identik dengan kolonialisme dalam rupa aneksasi
teritorial dengan tujuan
penguasaan atas sumber daya ekonomi pada negeri-negeri yang lemah. Selanjutnya, perkembangan mutakhir
dari kapitalisme membawa globalisasi pada pemaknaan baru, yaitu neoliberalisme.
Aktor globalisasi bukan lain adalah Perusahaan-perusahaan multinasional dan
transnasional yang dibekingi oleh
lembaga-lembaga internasional seperti WTO, IMF dan WB serta negara-negara induk
mereka terutama Amerika Serikat dan sekutunya. Tentu saja pengertian tentang
globalisasi di atas berbeda dengan pandangan tentang globalisasi yang berkiblat
pada prinsip bebas nilai. Globalisasi dimengerti sebagai proses yang wajar dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pandangan ini berimplikasi pada
anggapan bahwa globalisasi merupakan sebuah proses natural.
Pengertian globalisasi yang terakhir lah memperoleh tempat di kelas-kelas. Diajarkan bahwa globalisasi merupakan keniscayaan, sebagaimana matahari yang niscaya
tenggelam di barat. Sesuatu yang tidak terkait dengan dialektika kekuatan-kekuatan
global kecuali hanya dampak dari perkembangan peradaban maasyarakat manusia. Globalisasi
beserta karakter intrinsiknya dianggap netral terhadap wacana moral. Perbincangan di kelas pun pada dasarnya sadar bahwa
globalisasi dalam praktiknya termanifestasi ke dalam proses pembentukan formasi
pasar bebas hambatan pada berbagai level. Dalam suatu wawancara eksklusif
misalnya salah satu pimpinan IMF menyatakan ketiadaan korelasi antara realitas ketimpangan global dengan proses globalisasi. Bila pun
terdapat ketimpangan semacam itu, penyebabnya adalah faktor internal
negara-negara tertentu, seperti kompleksitas birokrasi, korupsi dan
faktor-faktor lain yang dapat memicu inefisiensi perekonomian. Kunci kemakmuran
dengan demikian terletak pada efisiensi.
Efisiensi diyakini dapat terwujud pada saat perekonomian
dikoordinasikan oleh mekanisme pasar bebas yang sedapat mungkin minimal dari
campur tangan kekuatan non-pasar. Ide Smithian tentang pasar bebas mengambil
spirit kaum fisiokratis yang menganjurkan pembiaran pada pasar untuk bekerja
secara alami. Naturalitas pada mekanisme pasar mengacu pada persaingan bebas di
antara berbagai kekuatan yang bekerja di dalamnya. Menurut Sri-Edi Swasono di
dalam banyak karyanya, inti dari apa yang disebut persaingan bebas adalah
individualisme. Wajar apabila penerapan pasar bebas secara praktis memiliki
arti bahwa negara-negara dunia ketiga membiaya lebih untuk tercapainya
efisiensi dunia. Konsep semacam inilah yang disebut sebagai free fight liberalism dan ditolak mentah-mentah
oleh para pendiri republik. Ditolak
karena, sistem yang akan dihasilkannya berwatak eksploitatif terhadap
manusia atau bangsa lain dan tidak terikat pada nilai-nilai atau moralitas apa
pun selain tercapainya profit sebesar-besarnya.
Seakan dipandu
oleh pejabat tinggi IMF tersebut, para pengajar dan sejumlah pihak terus
menerus mereproduksi wacana penerimaan atas persaingan. Dari mulai
penceritaan dongeng tentang globalisasi bebas nilai, hingga diselenggarakannya
berbagai pelatihan soft skill untuk
menghadapi kancah peersaingan bebas. Tak ada jalan lain, globalisasi alias
pasar bebas mesti dihadapi. Caranya adalah dengan memotivasi peserta didik
sedemikian rupa sehingga
menjadi individu yang tahan banting
menghadapi itu. Muncul kemudian konstruksi wacana tipologi individu
ideal, manusia Amerika-Eropa yang rasionalis-liberal, individu yang berwatak entrepreneur. Ini lah solusi kapitalistik atas pergeseran
kapitalisme dalam rupa
finansialisasi yang berdampak pada deindustrialisasi di level nasional, pertanda
buruk buruk bagi prospek sektor produktif bahkan kuantitas lapangan pekerjaan. Solusi demikian lantas segera
menjadi sikap umum berbagai institusi pendidikan.
Tentu saja apa pun itu yang akan dipersiapkan (diklaim) sebagai jalan keluar merupakan suatu ekspresi paradigmatik. Mencermati kecendrungan di atas, liberalisme sepertinya telah menjadi paradigma umum sistem pendidikan, sebagaimana telah lama disinyalir oleh para pemerhati pendidikan. Perlu dikemukakan dalam kesempatan ini bahwa liberalisasi tidak berkaitan semata dengan penetrasi pasar pada sektor pendidikan, pengadopsian paradigma liberal pun menjadi bagiannya. Hal ini diindikasikan oleh semakin maraknya berbagai seminar dan pelatihan kewirausahaan di seantero institusi pendidikan serta menggelegarnya suara para motivator bisnis di layar-layar kaca. Adalah mencetak sebanyak-banyaknya wirausahawan baru yang melulu berpikir tentang profit, bukan yang lain, dianggap satu-satunya jalan keluar, setidaknya demikian ujar mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan bidang jurusan Ilmu Ekonomi salah satu PTS di Yogyakarta baru-baru ini.
Tentu saja apa pun itu yang akan dipersiapkan (diklaim) sebagai jalan keluar merupakan suatu ekspresi paradigmatik. Mencermati kecendrungan di atas, liberalisme sepertinya telah menjadi paradigma umum sistem pendidikan, sebagaimana telah lama disinyalir oleh para pemerhati pendidikan. Perlu dikemukakan dalam kesempatan ini bahwa liberalisasi tidak berkaitan semata dengan penetrasi pasar pada sektor pendidikan, pengadopsian paradigma liberal pun menjadi bagiannya. Hal ini diindikasikan oleh semakin maraknya berbagai seminar dan pelatihan kewirausahaan di seantero institusi pendidikan serta menggelegarnya suara para motivator bisnis di layar-layar kaca. Adalah mencetak sebanyak-banyaknya wirausahawan baru yang melulu berpikir tentang profit, bukan yang lain, dianggap satu-satunya jalan keluar, setidaknya demikian ujar mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan bidang jurusan Ilmu Ekonomi salah satu PTS di Yogyakarta baru-baru ini.
Mansour Fakih dkk
misalnya dalam konteks di atas mengetengahkan Achievement Motivation Training karya David McClelland yang
terkenal itu, untuk memberi contoh terapan paradigma liberalisme dalam
penyelenggaraan pendidikan. McClelland dalam menyusun karyanya tersebut
didasari sebuah stereotifikasi bahwa bangsa-bangsa dunia ketiga tidak mewarisi
spirit Etika Protestan (dalam pemahaman Weberian) yang dipercaya menjadi sumber
pertumbuhan ekonomi barat pada perkembangan mula-mula kapitalisme. Sehingga,
berdasarkan pandangan demikian, untuk menyelesaikan persoalan dunia ketiga
karenanya perlu diinjeksikan apa yang disebut dengan mentalitas The Need for Achievement. Ditargetkan
dengan demikian masyarakat dunia ketiga akan bermetamorfosa menjadi
individu-individu agressif dan rasional (Mansour Fakih dkk: 2007, 26). Secara
sederhana, bila inefisiensi menjadi pokok persoalan maka jawabannya adalah
menciptakan syarat kondisional yang layak bagi bagi tersusunnya perekonomian
pasar kapitalistik yang efisien. Salah satunya sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas. Alur berpikir demikian pula yang diyakini sebagai benar
oleh banyak pengajar dan konseptor pendidikan di Indonesia.
Secara normatif, memilih beradaptasi
pada konsep dan praktik persaingan sama saja artinya melanggengkan
individualisme. Ini bukan tentang perdebatan seputar dampak pemberlakuan skema Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA). Argumentasi masing-masing pihak baik pembela maupun penentang sama kuatnya.
Seperti tercermin dalam sikap skeptis beberapa kalangan tentang kapasitas
fundamental ekonomi dan kualitas sumber daya manusia. Atau optimisme diimbuhi
argumen meyakinkan bapak Wakil Presiden tentang keuntungan yang dipetik
Indonesia dari diberlakukannya MEA. Sehingga, tulisan ini tidak dimaksudkan
menebar pesimisme negatif tentang kemampuan bangsa Indonesia dalam bersaing.
Tulisan ini hanya berniat menelanjangi watak ekploitatif berbasis
individualisme yang intrinsik dalam sistem pasar bebas dan dasar paradigmatiknya.
Namun demikian lah faktanya, banyak pihak telah menjadi gandrung, seakan hubungan kemasyarakatan hanya semata-mata berisi persaingan. Padahal selama berabad-abad kita telah menjalankan prinsip demokrasi permusyawaratan di bidang politik dan kerja sama di hampir seluruh bidang, fakta semacam ini terekam dalam berbagai karya pemikiran Hatta tentang demokrasi desa. Seakan kita lupa terhadap tafsir otentik bung Karno bahwa Pancasila pada dasarnya berinti pada Ekasila, yakni gotong royong. Sehingga, negara Indonesia merdeka pun harus diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip kerja sama dan bukan persaingan. Ironis di saat Pancasila masih menjadi mata pelajaran dan mata kuliah wajib pada institusi pendidikan kita. Peserta didik justru terinternalisasi oleh nilai-nilai individualis, ditempa selama tahun-tahun pendidikannya dalam suatu arena persaingan berebut menjadi yang terbaik (baca: peringkat kelas) dan dalam banyak kasus dilarang keras bekerja sama, terutama saat ujian akhir berlangsung.
Bertolak belakang
dengan kondisi pendidikan saat ini, praktik pendidikan di Indonesia terutama di
sekitar masa dan dilakukan oleh kaum pergerakan nasional sebenarnya berkarakter
kritis. Kritik terhadap eksploitasi dan sistem pendidikan kolonial menjadi
wacana umum ketika itu. Ki Hadjar Dewantara sendiri dengan Pancadarma Taman
Siswanya yang berprinsip bahwa pendidikan harus menyangkut kemerdekaan, kodrat
alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan, oleh sementara pihak dinobatkan
sebagai tokoh pendidikan kritis pertama di dunia. Bukan hanya itu, di kemudian
hari pun beliau ditetapkan menjadi bapak pendidikan bangsa. Sejarah mencatat
pula tidak hanya berkutat pada praksis pendidikan, beliau pun dapat disebut
sebagai aktivis pergerakan kemerdekaan. Siapa yang lupa dengan tulisan berjudul
Als Ik Eens Nederlander Was
(Seadainya Aku Seorang Belanda) dan Een
voor Allen mar Ook Allen voor Een
(Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) yang memuat kritik keras
terhada pemerintahan kolonial Belanda. Sebagaimana paradigma pendidikan kritis,
beliau mengungkap watak eksploitatif dari sistem kolonialisme (globalisasi
awal) dan metode pendidikannya, lalu menawarkan konsep pendidikan transformatif
(kebangsaan).
Melihat fakta
sejarah di atas, refleksi kritis di hari ulang tahun Ki Hadjar sekaligus Hari
Pendidikan Nasional ini dapat dimulai dengan ajuan pertanyaan: jika prinsip
pasar bebas dan persaingan beserta ruh individualismenya baik secara normatif
dan faktual, bertentangan dengan jiwa Pancasila (dasar negara) dan nyata-nyata
menghasilkan ketimpangan global melalui modus eksploitasi pihak bermodal
terhadap mereka yang bermodal lemah dan tak bermodal, lantas mengapa prinsip
persaingan dan individualisme masih diakomodir dalam aktivitas pendidikan kita?
Kritik selanjutnya pun sudah sepantasnya diarahkan terhadap sistem pendidikan
itu sendiri, untuk mengungkap watak konservatif (pro status quo) dan liberal
(pro pasar bebas, persaingan dan individualisme) lalu menemukan jalan untuk
mentransformasi paradigma sistem pendidikan nasional menjadi sistem pendidikan
yang mampu membentuk peserta didik yang kritis terhadap penindasan serta peka
terhadap moralitas kerja sama dan keadilan.
Daftar Pustaka
1.
Mansour Fakih dkk, Pendidikan Kritis:
Membangun Kesadaran Kritis (Insist Press: Yogyakarta, 2007).
2. James Petras dan Henry
Veltmeyer, Menelanjangi Globalisasi:
Sepak Terjang Imperialisme di Abad 21 (Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2014).
3.
Ki Hadjar Dewantara, Karya
Bagian I: Pendidikan (MLPTS: Yogyakarta,
cet. II, 1962),
[i]
Disusun oleh Dewa PAW sebagai
pemandu diskusi peringatan HUT Ki Hadjar Dewantara dan Hari Pendidikan Nasional
di Komunitas Kedip.