Kamis, 10 November 2016

SHAKUNI (SENGKUNI) BEREBUT KUASA *

  ainosora.deviantart.com
                                                             
Politik ditolak karena dirinya yang buruk atau karakternya yang telah dibunuh? Banyak usaha telah dilakukan para ilmuwan dan komentator untuk menjawab pertanyaan semacam itu. Dari telunjuk yang menuding proyek depolitisasi rezim Orde Baru hingga karakter kita yang katanya hipokrit itu.
Bagi penulis, persoalan tidak terletak pada predikat yang melekat pada politik. Segala kemuakan terhadap politik justeru bermula dari cara bekerja politik itu sendiri. Pertanyaan pun seharusnya dialihkan menjadi: “bagaimanakah politik bekerja selama ini?”.
Tanggapan keras datang dari tulisan seorang demonstran legendaris, Soe Hok Gie. Politik baginya adalah lumpur kotor, hindari bila itu dapat dihindari, bila tidak maka masuklah ke dalamnya untuk tiba di seberang. Tidak diragukan bahwa Gie adalah seorang idealis dan humanis besar yang pernah hidup di antara kita. Namun, bukan jenis idealis dan humanis naif yang menapak jalan apolitisme.
Ia hanya muak pada politik yang bekerja saat itu, politik retoris penguasa, tulisnya : “Cuma pada kebenaran masih kita harapkan. Dan radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan. Kebenaran Cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu”.
Selama bangunan dunia manusia dibentuk oleh kekuasaan, selama itu pula politik tak dapat dihindari. Bukankah politik adalah tentang kekuasaan? Jika kekuasaan berarti kemampuan mengendalikan dan mempengaruhi pihak lain. Artinya, politik adalah tentang kemampuan semacam itu. Gie dengan sikapnya tentu insyaf akan hal tersebut.
Bhisma, idealis lain yang hidup dalam dunia wiracarita, mempersembahkan dharmabhakti-nya pada tahta Dinati Kuru. Politik dan kekuasaan dipandang berbeda dibanding Shakuni memandangnya. Ketertundukkan Bhisma Putra Gangga pada norma bukanlah cerita baru.
Kekuatan, politik dan kekuasaan di tangan Bhisma bersama-sama memikul tahta. Shakuni sang politikus datang dengan tongkat ajaib di tangan dan mebalik segala keharusan-keharusan. Kekuatan, politik, sekaligus norma dirangkaikan menjadi kereta bagi Duryodhana sang keponakan tersayang supaya dapat bergerak lebih kencang menuju kekuasaan.
Shakuni sedang berpolitik, meraih kekuasaan melalui atau pun tidak cara yang dianggap konstitusional. Bhisma yang kolot tetap terikat dengan idealismenya yang naif. Sumpah setia pada tahta menjadi cara bagi Shakuni memperalatnya.
Pandawa bersaudara, idealis lainnya, menjadi bulan-bulanan Shakuni beserta seratus Kurawa bersaudara. Pandawa tertua, Yudhistra Putra Dharma, menuntut sabar dan nrimo pada adik-adiknya yang marah dan telah frustasi menghadapi akrobat Shakuni.
Agaknya Bhagawan Wyasadewa (penggubah Mahabharata) konsisten dengan keyakinan para penyusun Upanishad bahwa, satyam eva jayate nanrtam (सत्यं एव जायते णन्रतं ) , kebenaran akan senantiasa berjaya dan tidak pada kejahatan. Khrisna, politikus yang lain, hadir pada pertengahan cerita dan mendekat pada Pandawa yang idealis dan lemah teraniaya. Pertama kali Khrisna di tengah-tengah para Pandawa hadir sebagai agitator, menebar benih perlawanan.
Benih pun tumbuh berbuah, Pandawa siap melawan. Politikus ulung mengerti bahwa melawan saja tidaklah cukup. Melawan secara konfrontatif sebuah aliansi raksasa yang dibangun Shakuni bukan sikap yang bijaksana. Pilihan yang paling mungkin adalah Khrisna harus berhadapan vis a vis dengan Shakuni dalam bingkai politik.
Seluruh titik terlemah lawan dieksploitasi meski hal itu bertentangan dengan norma yang telah mapan. Berbohong tentang kematian Aswathama untuk meruntuhkan semangat tempur Guru Drona. Menghadapkan Bhisma pada seorang perempuan yang tak mungkin dilawan oleh kesatria sepertinya.
Singkatnya, Pandawa berjaya dan aliansi Kurawa kalah total melalui sebuah pertarungan politik. Politik yang pada masa klasik dimengerti sebagai cara mengatur pemerintahan untuk kebaikan bersama, dalam perspektif moralisme Mahabharata, pasca bharatayudha, telah bergeser menjadi tipu daya yang memusingkan kepala.
Sepanjang sejarah masyarakat manusia yang telah diketahui, kekuasaan disusun berdasarkan hubungan antara bidang kekuasaan, penguasa, dan yang dikuasai. Politik pun menjadi pertarungan berebut bidang kekuasaan untuk dapat berkuasa atas pihak lain.
dewipuspasari
Perebutan terjadi akibat keterbatasan bidang kekuasaan, setelah perebutan usai bidang kekuasaan yang terbatas mengkondisikan terbentuknya elitisme yang menjauhkan penguasa dari yang dikuasainya. Politik beredar di sekitar bidang kekuasaan yang terbatas tersebut.
Bukan hanya elitisme yang dikondisikan oleh keterbatasan bidang kekuasaan. Perebutan adalah keniscayaan sehingga politik menjadi nama lain dari perebutan bidang kekuasaan. Sebagaimana Shakuni demikianlah kontestan politik beraksi. Mobilisasi atas kekayaan hingga agama dilakukan dalam usaha memperoleh bidang kekuasaan.Bidang kekuasaan seperti jabatan kepala pemerintahan, anggota parlemen, komisaris perusahaan negara, kepala kepolisian, panglima tentara, pimpinan partai politik, dan lain-lain adalah tempat di mana politik bekerja. Politik asing bagi pihak yang berada di pinggiran dan tidak berkemampuan menjangkau bidang-bidang kekuasaan tersebut. Mengemukalah pandangan bahwa politik adalah urusan para pembesar yang dekat dengan bidang kekuasaan.
Seluruh pergerakan politik berpusat pada diri calon-calon penguasa dan para pendukung yang telah berkonsesi dengan mereka. Jadilah jalanan rumah kita medan peperangan politik para titisan Shakuni. Penghuni rumah di pinggir jalan hanya menonton perang tersebut sembari berharap remah-remah roti para prajurit (politik uang) jatuh di halaman mereka. Peperangan tersebut berdarah-darah, pengorbanan adalah pasti.
Untuk mengganti itu semua bidang kekuasaan harus dikonversi menjadi lahan bercocok tanam yang subur agar setimpal. Saat telah berada di atas bidang lahan, pengikut menebar benih dan sang penguasa duduk cantik di atas singgasana mengamati saat tepat untuk kembali memberi perintah bagi pengikut untuk melakukan panen. Panen pun dinikmati, tidak oleh semua, hanya untuk penguasa lahan dan pengikut setia serta tentu saja dengan para pihak yang menyumbang.
Pada masyarakat dengan bidang-bidang kekuasaan yang sempit, politik hanya menjadi perkakas para calon penguasa dan para penguasa mengeksploitasi bidang kekuasaan bak lahan pertanian.
Eksesnya, mayoritas anggota masyarakat yang berada di pinggir hanya menonton, itu pun penonton yang tidak sepenuhnya mengerti jalan cerita sebab jalan cerita hanya ada dalam kepala calon penguasa dan para konsultannya. Dikerahkan menuju arena saat puncak peperangan berlangsung (pemilihan umum) di mana para kontestan akan berebut tepuk tangan (pemilih).
Kontestan yang memperoleh tepuk tangan paling meriah akan keluar menjadi pemenang dan berhak menguasa calon lahan. Tidak mudah membuat para penonton bertepuk tangan untuk anda, perlu ketrampilan politik tingkat tinggi.
Kontestasi usai para penonton dipersilakan kembali ke rumah masing-masing untuk kembali menonton para penguasa membagi-bagi hasil panen. Keadaan semacam ini berarti dua hal bagi masyarakat; menjadi calon penguasa berikutnya atau cukup menonton saja. Demikianlah politik bekerja bila bidang kekuasaan sangat sempit.
Politik hanya perkakas yang bergantung pada penggunanya. Bila benar demikian itu artinya cukup dirubah penggunanya dengan internalisasi intensif prinsip-prinsip moralitas. Pengguna yang baik akan menjadikan perkakasnya bekerja untuk kebaikan.
Sayangnya politik berikut kekuasaan yang dikejarnya tidak diunduh dari ruang hampa yang selanjutnya diinstalasi pada dunia nan hidup ini. Keduanya tumbuh dari dalam tubuh masyarakat manusia dan melekat padanya sesuai jangka waktu kehidupannya.
Sebagai bagian dari tubuh tertentu, politik bergantung dengan arah gerak tubuh. Politik bergerak searah dengan gerak sang aktor. Pada gilirannya, aktor politik pun terikat hukum yang sama, mereka dapat membangun dunia tetapi tidak tepat seperti yang disukai. Mereka terbelit dalam jaring-jaring kondisi yang tak dapat dipilihnya.
Politik bekerja seturut pekerjaan sang aktor. Sang aktor bekerja dengan tunduk pada kondisi tertentu. Bila bidang kekuasaan sangat sempit maka semua pihak menggunakan perkakas politik untuk berebut bidang tersebut. Tujuan politik pun semata kekuasaan.
Perlu serangkaian perubahan untuk melampaui kinerja politik sebagaimana di atas. Perubahan perlu menyentuh dasar yaitu terbatasnya bidang kekuasaan itu. Perluasan bidang kekuasaan perlu dilakukan. Perluasan tersebut ditujukan supaya pelibatan seluruh masyarakat menjadi mungkin.
kaskus
Seluruh anggota masyarakat turut mengolah bidang kekuasaan. Hal ini akan memutus hubungan penguasa dan yang dikuasai. Penguasa dan yang dikuasai tiada lagi. Perebutan berdarah-darah dapat dihentikan dengan format penguasaan bersama dan berganti menjadi kerja sama. Hasil panen dinikmati bersama-sama. 
Politik telah berganti rupa dari perangkat calon penguasa dan para penguasa mengeksploitasi bidang kekuasaan untuk diri sendiri, menjadi perangkat seluruh masyarakat meningkatkan hasil panen untuk kenikmatan bersama.
Apakah kondisi semacam itu mungkin terwujud? Bagi penulis hal tersebut sangat mungkin. Syarat-syarat materiil dari kondisi tersebut telah tersedia saat ini. Dahulu para pakar berargumen bahwa keterlibatan seluruh masyarakat dalam pemerintahan adalah mustahil dan pelru diganti dengan mekanisme perwakilan. Dimanifestasikan dalam wujud kepala pemerintahan dan anggota parlemen mewakili masyarakat mengolah bidang kekuasaan, dan seterusnya.
Mereka adalah wakil yang diberi kesempatan untuk memiliki kekuasaan. Mayoritas masyarakat dibiasakan tidak peduli dengan urusan pemerintahan karena semuanya telah diwakilkan pada para penguasa. Periode kekuasaan yang dimiliki adalah kesempatan bagi para penguasa untuk menumpuk kekuatan yang nanti akan bermanfaat pada saat pemilihan dilangsungkan.
Terbentuklah politik dinasti dan oligarki politik di mana kekuasaan hanya berada di tangan segelintir orang saja. Melalui model perwakilan yang ada saat ini, susunan bidang kekuasaan yang dipergunakan pun tidak memberi kemungkinan bagi mayoritas masyarakat untuk menjadi bagian di dalamnya. Kekuasaan yang konon berada di tangan mayoritas rakyat hanya dongeng saat kekuasaan untuk mengendalikan para wakilnya menjadi tumpul.
Perluasan bidang kekuasaan dilakukan dalam bentuk pemangkasan kekuasaan para wakil, para wakil hanya berperan sebagai juru bicara hasil musyawarah masyarakat di level akar rumput. Masyarakat pun seharusnya berkuasa untuk memecat para wakilnya. Demikianlah cara masyarakat turut serta dalam pemerintahan. Pertanyaan berikutnya, jika itu mungkin diwujudkan lantas bagaimana cara mewujudkannya?
Caranya dengan mengubah peta peperangan yang dahulu terjadi antara Shakuni versus Shakuni menjadi Khrisna versus Shakuni. Mayoritas terpinggirkan ibarat Pandawa yang sabar lan nrimo lagi teraniaya yang harus bekerja sama dengan  dan belajar menjadi Khrisna sang politikus menghadapi oligarkhis Kurawa yang dilindungi Shakuni sang politikus.
Bagi penulis, politik yang buruk bukan untuk dibedaki dengan segala macam pencitraan. Kondisi yang mendeterminasikan keburukan tersebutlah yang harus diubah. Hal tersebut berarti cakrawarty (kedaulatan) harus dikembalikan ke tangan mayoritas masyarakat yang berada di pinggir. 
*pernah dimuat oleh qureta.com

Jumat, 22 Juli 2016

Memerdekakan Anak: Berikan Satu Hari Pada Keluarga



Memerdekakan Anak: Berikan Satu Hari Pada Keluarga[1]



Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu
-          Kahlil Gibran
Mengapa anakku bukan milikku? Tanya seorang suami selepas melirik bait puisi dalam buku yang sedang dibaca istrinya. Pertama, anak kita bukan barang; kedua, tidak pula obyek  hukum perdata; ketiga, anak kita anak manusia. Tanya-jawab imajiner sepasang orang tua tersebut di atas segalanya adalah imaji. Ibarat kegiatan produksi barang-barang yang membutuhkan bahan-bahan material yang nyata, imaji di atas pun adalah hasil kegiatan pengolahan (baca: berpikir)  bahan-bahan (baca: informasi) yang bersumber dari kenyataan. Walau berstatus imajiner, tidak lantas keseluruhan sama sekali imajinasi. Bagaimana pun juga imajinasi itu adalah tempat bagi kenyataaan mencermin dirinya.
Anak-anak bukan barang, anak-anak bukan obyek hukum perdata, singkatnya bukan obyek kepemilikan karena mereka adalah anak-anak manusia yang akan tumbuh menjadi manusia. Apa itu yang disebut dengan anak-anak manusia sehingga membuat segala klaim kepemilikan atasnya terbatalkan? Terkait jawaban atas pertanyaan ini, Ki Hadjar Dewantara mengadaptasikan sebuah pandangan yang selanjutnya berpengaruh besar pada gagasan beliau tentang pendidikan. Pandangan tersebut selanjutnya beliau perkenalkan dengan teori konvergensi. Anak manusia, menurut teori ini, terlahir seperti kertas yang telah penuh berisi tulisan, akan tetapi tulisan yang samar-samar. Anak-anak terlahir dengan membawa serta potensi serta bakat alamiahnya. Anak-anak manusia karenanya terhubung dengan kodrat tertentu dan dikenali di dalam hubungan tersebut.
Anak-anak manusia pun dapat dikenali lewat praksis sejarah manusia membentuk realitas sosialnya. Meski demikian, manusia tidak dapat sekehendaknya membentuk sejarah dan realitas sosialnya, hasil praksis tersebut berbalik mengkondisi kita. Freire selanjutnya berkesimpulan, jika kita yang membentuk realitas sosial dan sejarah, maka mengubah ralitas pun menjadi tugas kesejarahan dari kita. Dari terang pengertian demikian beliau menyatakan sebuah kondisi dari seseorang disebut manusiawi saat kita mengerti kedudukan kita dalam realitas masyarakat dan berkemampuan aktif mengubah realitas (penindasan) menjadi pro kemanusiaan. Ditegaskan, kita tidak akan menjadi benar-benar manusiawi tanpa praksis demikian.
Pada dasarnya manusia menjadi manusia seutuhnya saat menjadi manusia yang merdeka. Untuk itu, diperlukan lah pendidikan. Manusia merdeka saat menjadi manusia yang mandiri, tidak menjadi pelayan bagi kaum penindas (perampas kemerdekaan) dan berkemampuan aktif mengondisikan ulang realitas sosial agar selaras dengan kondisi kemanusiaannya. Manusia termerdekakan saat syarat-syaratnya telah terpenuhi, yaitu saat ia terhubung dengan bakat dan potensi kodratinya dan berani untuk bebas (berprakarsa). Pendidikan pun untuk memenuhi maksud tersebut hanya berperan menuntun serta diselenggarakan bersama, bukan hanya sekedar untuk, anak-anak manusia dan kita. Pendidik adalah penuntun sedang anak-anak adalah subyek aktif yang hidup, bukan ember kosong yang suka-suka pendidik hendak mengisinya dengan cairan apa pun. Ada pun yang dituntun adalah kekuatan bakat dan potensi kodrati yang ada pada anak-anak tersebut.

Keluarga Sebagai Pusat Pendidikan
Tugas manusia adalah menjadi manusia, demikian Freire. Bila usaha menjadi manusia bersifat kodrati maka proses itu pun telah melekat di dalam diri kita sejak lahir. Kenyataan hari ini, secara umum anak-anak terlahir di tengah apa yang kita sebut sebagai keluarga. Anak-anak menghabiskan sebagian waktu bertumbuhnya di tengah-tengah keluarga. Di atas telah disebutkan jika anak-anak membawa sesuatu yang kodrati sejak mula. Hal tersebut berarti bahwa hidup serta tumbuhnya berdasarkan kodrat yang dibawanya. Jika benar demikian, pendidikan menjadi kehilangan makna. Seluruh pihak tinggal bertawakal, berserah-pasrah, nrimo, menunggu sang anak menjemput takdirnya. Anak-anak dan kita adalah wayang karenanya tidak perlu bertanggung jawab atas apa pun.
Mengikutsertakan konsep kodrat dalam setiap pembicaraan memang beresiko menjerumuskan kita pada fatalisme. Anak-anak bukan lagi dianggap sebagai subyek aktif, melainkan subyek yang pasif. Mereka dianggap tetap hidup namun hidup dan tumbuh di bawah kendali hal-ikhwal kodrati. Segalanya di luar hal-ikhwal kodrati tersebut tidak memiliki daya untuk mengupayakan apa pun bagi tumbuh dan berkembangnya anak. Ini yang disebut dengan obyektivisme oleh Freire. Subyek tetap ada namun berperan menjadi wayang bagi obyektivitas yang menjadi dalangnya.
Seturut pandangan yang demikian, keluarga kehilangan perannya dalam sistem pendidikan. Keluarga pun berhak berpasrah total menunggu kemana pun gerak kodrat mengarahkan anak-anaknya. Analog pertumbuhan padi barangkali mampu menjawab pandangan tersebut. Keluarga diibaratkan Pak Tani yang menanam padi di sawah, padi dalam analog ini adalah anak-anak. Padi telah membawa kodratnya sebagai padi. Untuk memperoleh padi yang baik, Pak tani tidak dapat membiarkan begitu saja padi bertumbuh tanpa perawatan. Selain itu, faktanya, pengembangan varietas padi unggul pun dimungkinkan melalui perkembangan ilmu pengetahuan.
Apa yang ingin disampaikan analog tersebut adalah tentang batasan bagi kemungkinan dan apa yang mustahil dalam pendidikan anak dalam keluarga. Mungkin bagi Pak Tani untuk meningkatkan kulitas baik dalam padi melalui perawatan, mungkin pula keunggulan padi ditingkatkan melalui pengembangan varietas baru. Akan tetapi, mustahil bagi siapa pun mendapatkan padi berbuah gandum. Mungkin pula bagi keluarga menuntun anak memperkuat sisi baik potensi dan bakat kodratinya. Di sisi lain, mustahil pula bagi keluarga mengubah apa yang menjadi batas kodrati pada diri si anak, yaitu kodratnya sebagai subyek yang hidup dan berkemampuan aktif membentuk kenyataan dan sejarahnya dalam batasan-batasan kenyataan sosial dan alam. Disebut kodrati karena apabila kualitas tersebut dibelenggu atas nama pendidikan akan melahirkan perlawanan dari para pemilik kodrat. Pada batasan tersebut lah pihak pendidik diharapkan mampu berserah diri.
Bagaimana tujuan mendasar pendidikan secara umum demikian pula pendekatan yang akan dipergunakan  dalam mendidik anak. Pemimpin dalam keluarga demikian pula seluruh bagian dari keluarga berperan sebagai penuntun atau fasilitator bagi aktivitas pendidikan anak. Orang tua memegang peran kunci dalam konteks keluarga dengan formasi keluarga inti sebagaimana yang lazim eksis saat ini. Di samping karena faktor struktural, orang tua memiliki kualitas yang tak dimiliki guru atau pengajar sekolahan, yaitu apa yang disebut oleh ki Hadjar sebagai naluri pedagogis yang mewujud dalam keinginan naluriah memberikan apa pun untuk kebaikan anak-anaknya. Dalam panduan kualitas tersebut orang tua dapat berkedudukan sebagai guru yang menuntun, pengajar (transfer pengetahuan dan ketrampilan kerja) sekaligus teladan (utamanya dalam ketrampilan bersosialisasi). Kedudukan orang tua yang demikian pun dilandasi oleh kebutuhan (yang dapat dipenuhi oleh keluarga) akan penyaluran potensi, bakat dan aspek kodrati dari anak tidak hanya dalam pekerjaan pikiran tapi juga pekerjaan tubuh. Anak-anak dilibatkan dalam pekerjaan rumah tangga dengan porsi yang sesuai. Hal ini bertujuan mengantisipasi overdosis kegiatan berpikir yang memicu berkembangnya kecendrungan intelektualisme pada anak. Intelektualisme diyakini menjadi sumber persoalan seseorang dalam hidup bermasyarakat.
Keluarga dalam kondisinya yang ideal, dalam kenyataan saat ini, berperan sentral dalam usaha pencapaian sisi kodrati anak sebagai manusia. Di luar sana, kehidupan masyarakat di dalam jejaring kapitalisme global semakin kompetitif. Kita semua dituntut menganut profesionalisme dan menganggap yang lain jika bukan kompetitor pasti lah relasi bisnis. Tidak ada empati apalagi hubungan tanpa pamrih. Solidaritas sosial dimengerti sebagai barbarisme geng motor atau tawuran primordial dan sejenisnya. Kasih tulus sesama dipandang sebagai sentimentalisme naif. Pusat-pusat pendidikan di masyarakat mengadaptasikan norma-norma kapitalisme seperti persaingan antar peserta didik (individualisme) dan penanaman kesadaran adaptif terhadap sistem dominan di antara peserta didik, yakni dalam rupa pilihan berkarir sebagai pekerja atau usahawan. Peserta didik sulit berimajinasi di luar wacana dominan kapitalisme. Peserta didik pun selanjutnya mengalami penumpulan daya kreatif dan kodrat kemanusiaannya sebagai subyek aktif pembentuk serta pengubah realitas sosial.
Peran keluarga pada akhirnya semakin penting. Di dalam keluarga anak berpeluang  memperoleh suasana solider, kooperatif, empati dan kasih tulus. Sehingga, di dalam keluarga pula anak akan memperoleh pengalaman yang menuntunnya pada pengertian akan sisi kodratinya, sejauh keluarga berada pada kondisi yang sesuai untuk itu. Kondisi yang dimaksud tersebut ditandai dengan keberadaan demokrasi di dalam keluarga, partisipasi anak dalam kegiatan rumah, dan orang tua yang menuntun. Dewasa ini, sudah menjadi kebiasaan umum orang tua memperketat jadwal belajar tambahan di luar rumah. Situasi semacam itu malah semakin membuat relevan seruan Ki Hadjar berpuluh tahun lalu: “berikan lah satu hari untuk keluarga”. Satu hari dalam satu minggu adalah kebutuhan untuk memperkuat hubungan anak dan keluarganya. Menyesuaikan kondisi keluarga dengan kebutuhan penuntunan kekuatan sisi kodrati anak berarti memperbesar peluang kelahiran manusia-manusia merdeka.


[1] Dimuat oleh harian Bali Post edisi 9 Juli 2016 dengan berbagai penyesuaian oleh penulis.