Kamis, 08 Januari 2015

CHARLIE HEBDO DAN KEBEBASAN (?)



Smeaker

Kabar mengejutkan datang dari Perancis, terjadi serangan mematikan terhadap kantor Tabloid Mingguan satire Charlie Hebdo yang menewaskan setidaknya 10 awak media termasuk 2 anggota kepolisian yang bertugas menjaga kantor tersebut. Peristiwa ini sontak memperoleh tanggapan dari sejumlah pemimpin dunia. Presiden Perancis, Francois Hollande, menuding aksi kekerasan tersebut sebagai bentuk terorisme. Amerika Serikat melalui Presidennya, Barack Obama, menyatakannya sebagai visi kebencian para pembunuh. Pernyataan Obama selanjutnya diperkuat oleh keterangan juru bicara Gedung Putih Josh Earnest pada CNN  yang menyatakan bahwa itu bukan hanya serangan terhadap rakyat Perancis, melainkan pula merupakan serangan terhadap nilai-nilai dasar yang dianut oleh negara Perancis yaitu kebebasan berbicara, berekspresi dan pers.

Pernyataan Jubir gedung Putih di atas seperti lazimnya wacana normatif tentang demokrasi, mempergunakan prinsip kebebasan menjadi dasar argumentasinya. Kartunis asal Swedia, Lars Vilks, dalam wawancaranya dengan CNN mengemukakan substansi yang nyaris sama, “ ketika sejumlah benteng kebebasan yang kita miliki diambil, dan memang ini yang terjadi, siapa yang berani menerbitkan apa pun sekarang?”. Larry Jay Diamond, dalam kritiknya terhadap praktik demokrasi formal yang menurutnya tidak menyentuh substansi kebebasan berbicara dan hak-hak sipil-politik lainnya, mengajukan konsepsi demokrasi liberal yang berintikan pada kebebasan sipil dan politik. Jika salah satu saja dari segi kebebasan tersebut tidak sempurna dan/atau tidak terpenuhi, maka apa pun itu tidak dapat menyebut dirinya sebagai demokrasi. Pemikiran Diamond atau para teoritikus demokrasi di luar tradisi pemikiran Schumpeterian lainnya, pun menetapkan kebebasan sebagai inti dari demokrasi itu sendiri.

Tentu saja kebebasan di sini dimengerti sebagaimana Tocqueville menyebutnya dengan kemerdekaan pribadi. Dalam tradisi pemikiran liberal sejak Locke, kebebasan individu merupakan raison d’etre berdirinya negara. Berdasarkan pada suatu kontrak sosial, kekuasaan negara harus dibatasi guna menjamin perlindungan atas kebebasan individu dari segala bentuk ancaman dari mana pun asalnya. Peran negara menjadi sangat minimalis, hanya terbatas pada perlindungan atas kebebasan individu. Aspek krusial seperti kesejahteraan harus dimengerti dalam kerangka berpikir demikian atau meminjam perkataan Adam Smith bahwa “bukan lah kebaikan dari tukang daging, tukang bir dan tukang roti yang kita harapkan pada makan malam kita, tetapi kepedulian mereka pada kepentingan mereka sendiri”. Dalam paradigma demikian, sensor karenanya untuk alasan apa pun terhadap apa yang dianggap sebagai eksepresi dari prinsip kebebasan, termasuk alasan ketertiban umum ditanggapi secara sinis, dengan menyebutnya sebagai sebuah sikap yang “dikendalikan oleh ketakutan yang bercampur dengan kepantasan secara politis”.

Lars Vilks dan Tabloid Charlie Hebdo memiliki rekam jejak khusus. Keduanya pernah terlibat dalam kasus publikasi kartun Nabi Muhammad yang memicu kemarahan umat Islam. Menghindari spekulasi karena motif penyerangan sejauh ini belum diketahui. penulis hanya ingin memberi penekanan pada implikasi praktis prinsip kebebasan. Belajar dari kasus kartun Nabi Muhammad, misalnya, di satu sisi kebebasan berkeyakinan dan beragama dianggap sebagai hak asasi manusia sebagaimana termuat dalam Pasal 18 dokumen deklarasi universal hak asasi manusia. Di sisi yang lain, tindakan provokatif terhadapnya dapat saja berlindung di balik benteng kebebasan berpendapat dan berekspresi. Di sini lah individualisme dalam prinsip kebebasan telah menjerumuskan demokrasi pada sebuah dilema.

Apa pun motif penyerangan terhadap Tabloid Charlie Hebdo, hal tersebut tidak dapat diterima, bahkan bila doktrin kebebasan pribadi dan demokrasi tidak dipergunakan. Apalagi jika mempertimbangkan bahwa gagasan tentang demokrasi dan kebebasan pribadi merupakan wacana hegemonik saat ini. Publik lebih menerima pendekatan dialogis dengan memanfaatkan ruang negosiasi yang disediakan oleh sistem demokrasi alih-alih kekerasan. Demikian pula jika ditinjau dari perspektif demokratisasi, penyerangan tersebut merupakan preseden buruk bagi kebebasan pers. Mengingat kemampuan pers menjadi alternatif di saat lembaga-lembaga demokrasi mengalami kebuntuan. Perlindungan bagi kebebasan pers pun adalah mutlak dalam rangka demokratisasi.

Kendati demikian, pengalaman telah mengajarkan hak politik tertentu harus dipergunakan secara bijaksana, demokrasi tidak berada di ruang hampa, demikian pula prinsip kebebasan. Kita berada dalam sebuah ruang yang hidup di mana di dalamnya terdapat keberagaman tendensi yang saling berkontradiksi satu sama lain, tidak hanya para demokrat (pengikut doktrin demokrasi) yang hidup di dalamnya. Pada titik ini peran negara diperlukan, di samping sebagai pelindung kebebasan, sekaligus pula menjadi mediator atas pertentangan beragam tendensi tersebut.