Smeaker |
Kabar mengejutkan datang dari Perancis, terjadi
serangan mematikan terhadap kantor Tabloid Mingguan satire Charlie Hebdo yang
menewaskan setidaknya 10 awak media termasuk 2 anggota kepolisian yang bertugas
menjaga kantor tersebut. Peristiwa ini sontak memperoleh tanggapan dari
sejumlah pemimpin dunia. Presiden Perancis, Francois Hollande, menuding aksi
kekerasan tersebut sebagai bentuk terorisme. Amerika Serikat melalui Presidennya,
Barack Obama, menyatakannya sebagai visi kebencian para pembunuh. Pernyataan
Obama selanjutnya diperkuat oleh keterangan juru bicara Gedung Putih Josh
Earnest pada CNN yang menyatakan bahwa
itu bukan hanya serangan terhadap rakyat Perancis, melainkan pula merupakan
serangan terhadap nilai-nilai dasar yang dianut oleh negara Perancis yaitu
kebebasan berbicara, berekspresi dan pers.
Pernyataan Jubir gedung Putih di atas
seperti lazimnya wacana normatif tentang demokrasi, mempergunakan prinsip
kebebasan menjadi dasar argumentasinya. Kartunis asal Swedia, Lars Vilks, dalam
wawancaranya dengan CNN mengemukakan substansi yang nyaris sama, “ ketika
sejumlah benteng kebebasan yang kita miliki diambil, dan memang ini yang
terjadi, siapa yang berani menerbitkan apa pun sekarang?”. Larry Jay Diamond,
dalam kritiknya terhadap praktik demokrasi formal yang menurutnya tidak
menyentuh substansi kebebasan berbicara dan hak-hak sipil-politik lainnya,
mengajukan konsepsi demokrasi liberal yang berintikan pada kebebasan sipil dan
politik. Jika salah satu saja dari segi kebebasan tersebut tidak sempurna dan/atau
tidak terpenuhi, maka apa pun itu tidak dapat menyebut dirinya sebagai
demokrasi. Pemikiran Diamond atau para teoritikus demokrasi di luar tradisi
pemikiran Schumpeterian lainnya, pun menetapkan kebebasan sebagai inti dari
demokrasi itu sendiri.
Tentu saja kebebasan di sini dimengerti
sebagaimana Tocqueville menyebutnya dengan kemerdekaan pribadi. Dalam tradisi
pemikiran liberal sejak Locke, kebebasan individu merupakan raison d’etre berdirinya negara. Berdasarkan
pada suatu kontrak sosial, kekuasaan negara harus dibatasi guna menjamin
perlindungan atas kebebasan individu dari segala bentuk ancaman dari mana pun
asalnya. Peran negara menjadi sangat minimalis, hanya terbatas pada perlindungan
atas kebebasan individu. Aspek krusial seperti kesejahteraan harus dimengerti
dalam kerangka berpikir demikian atau meminjam perkataan Adam Smith bahwa
“bukan lah kebaikan dari tukang daging, tukang bir dan tukang roti yang kita
harapkan pada makan malam kita, tetapi kepedulian mereka pada kepentingan
mereka sendiri”. Dalam paradigma demikian, sensor karenanya untuk alasan apa
pun terhadap apa yang dianggap sebagai eksepresi dari prinsip kebebasan, termasuk
alasan ketertiban umum ditanggapi secara sinis, dengan menyebutnya sebagai
sebuah sikap yang “dikendalikan oleh ketakutan yang bercampur dengan kepantasan
secara politis”.
Lars Vilks dan Tabloid Charlie Hebdo memiliki
rekam jejak khusus. Keduanya pernah terlibat dalam kasus publikasi kartun Nabi
Muhammad yang memicu kemarahan umat Islam. Menghindari spekulasi karena motif
penyerangan sejauh ini belum diketahui. penulis hanya ingin memberi penekanan
pada implikasi praktis prinsip kebebasan. Belajar dari kasus kartun Nabi
Muhammad, misalnya, di satu sisi kebebasan berkeyakinan dan beragama dianggap
sebagai hak asasi manusia sebagaimana termuat dalam Pasal 18 dokumen deklarasi
universal hak asasi manusia. Di sisi yang lain, tindakan provokatif terhadapnya
dapat saja berlindung di balik benteng kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Di sini lah individualisme dalam prinsip kebebasan telah menjerumuskan
demokrasi pada sebuah dilema.
Apa pun motif penyerangan terhadap Tabloid
Charlie Hebdo, hal tersebut tidak dapat diterima, bahkan bila doktrin kebebasan
pribadi dan demokrasi tidak dipergunakan. Apalagi jika mempertimbangkan bahwa
gagasan tentang demokrasi dan kebebasan pribadi merupakan wacana hegemonik saat
ini. Publik lebih menerima pendekatan dialogis dengan memanfaatkan ruang
negosiasi yang disediakan oleh sistem demokrasi alih-alih kekerasan. Demikian
pula jika ditinjau dari perspektif demokratisasi, penyerangan tersebut
merupakan preseden buruk bagi kebebasan pers. Mengingat kemampuan pers menjadi
alternatif di saat lembaga-lembaga demokrasi mengalami kebuntuan. Perlindungan
bagi kebebasan pers pun adalah mutlak dalam rangka demokratisasi.
Kendati demikian, pengalaman telah
mengajarkan hak politik tertentu harus dipergunakan secara bijaksana, demokrasi
tidak berada di ruang hampa, demikian pula prinsip kebebasan. Kita berada dalam
sebuah ruang yang hidup di mana di dalamnya terdapat keberagaman tendensi yang
saling berkontradiksi satu sama lain, tidak hanya para demokrat (pengikut
doktrin demokrasi) yang hidup di dalamnya. Pada titik ini peran negara
diperlukan, di samping sebagai pelindung kebebasan, sekaligus pula menjadi
mediator atas pertentangan beragam tendensi tersebut.