Kamis, 24 Maret 2011

LIBYA UNDER ATTACK ; BAGAIMANA SIKAP INDONESIA?

Libya menjadi semacam pengecualian khusus dalam konteks krisis politik yang hingga saat ini telah dan sedang berlangsung di kawasan Timur tengah  dan Afrika. Dikatakan demikian, memperhatikan Libya dalam korelasinya dengan rangkaian peristiwa politik di kawasan tersebut dan posisi Libya pada geopolitik global. Serta fakta bahwa pendekatan militer telah dipergunakan oleh pasukan koalisi, cukup mengkonfirmasikan kekhususan Libya tersebut. Langkah Khadafy menasionalisasi perusahaan minyak asing adalah langkah berani untuk menantang dominasi barat di Libya. Di bawah kepemimpinannya. Negara yang tadinya melarat dan tertinggal berubah menjadi sejahtera. Indeks pembangunan manusia dan usia harapan hidup di negeri ini tercatat sebagai tertinggi di Afrika. Tahun lalu pendapatan per kapita 6,5 juta penduduk Libya berkisar 14.800 dollar AS. Walaupun sedemikian kaya, negara tetap berkewajiban menyediakan pendidikan dan pelayanan kesehatan secara gratis. Diperkirakan, sekitar 2 juta pekerja asing mencari nafkah di negeri ini. Dari jumlah tersebut, 1,5 juta berasal dari Mesir dan puluhan ribu orang dari Eropa, AS, China, dan Jepang. Selebihnya dari Tunisia, Bangladesh, dan negara-negara Afrika.
 Libya merupakan salah satu Negara dengan suksesi politik nyaris stagnan selama lebih dari 4 dekade. Tercatat pula bahwa kepemimpinan Khadafi di Libya merupakan periode kepemimpinan paling lama di dunia. Karenanya dalam waktu nyaris bersamaan dengan Negara-negara di Timur Tengah lain seperti Yaman dan Bahrain, pemerintahan Khadafi di Libya pun menjadi sasaran demonstrasi sebagian masyrakatnya. Namun dengan derajat berbeda dengan Negara lain, krisis politik Libya berkembang menjadi konfrontasi militer.Akibatnya korban dalam jumlah besar mulai menjadi perhatian dunia internasional dan entry point bagi propaganda anti Khadafi terutama yang terwujud dalam berbagai manuver politik Presiden Syarcozy dari Perancis, yang sejak awal telah mendorong dunia internasional untuk melakukan tindakan efektif pada pemerintahan Khadafi di Libya.
Terdapat fakta bahwa Libya merupakan Negara dengan kawasan yang berkepemilikan cadangan minyak terbesar ke-9 dunia dan terbesar di Afrika yaitu sebanyak 3 % total cadangan minyak bumi dunia. Dengan mengingat kebergantungan dunia akan energi yang masih sangat besar pada minyak bumi, menyebabkan Libya memiliki arti penting tertentu dalam geoekonomi global. Khususnya dari perspekti barat. Sebab, tidak dapat dilupakan bahwa Negara-negara Eropa memperoleh porsi sebesar 85 % dari total ekspor minyak bumi Libya. Dengan Italia sebagai importer terbesar yaitu sebanyak 30 % dari total ekspor Libya. Peristiwa politik yang saat ini sedang berlangsung di sana pun relatif berpengaruh pada perekonomian dunia, di mana seperti pernyataan Menteri Keuangan RI mengatakan bila harga minyak dunia beberapa waktu terakhir tidak lagi dipengaruhi oleh supply dan demand minyak. Harga minyak yang bergejolak tersebut lebih disebabkan oleh faktor geopolitik Timur Tengah.
Keterlibatan AS dalam kancah krisis politik Libya sedikitnya mengafirmasi niat AS untuk tetap merealisasikan prinsip unilateralisme, yang hingga saat ini tertantang oleh berbagai pergeseran korelasi kekuatan ekonomi-politik dunia. Di mana akhir tahun lalu China berhasil menggeser posisi Jepang pada peringkat kedua kekuatan ekonomi dunia, yang terindikasi dari nominal PDB Jepang 5,474 triliun dolar pada 2010 yang kalah dengan PDB China yang mencapai 5,879 triliun dolar. Dan dalam jangka panjang AS menghadapi kemungkinan yang cukup nyata akan timbulnya China sebagai kekuatan ekonomi baru yang melampauinya. Dalam jangka pendek, terutama untuk tahun 2011 ini ekonom Universitas Harvard Martin Feldstein cukup yakin bahwa ekonomi AS akan berjalan lebih lambat dibandingkan dengan yang semula diperkirakan.
Di lapangan politik, AS mendapat tantangan cukup serius dari basis subordinat pengaruh tradisionalnya, Negara-negara kawasan Amerika Latin. Tantangan tersebut bersumber dari sikap kritis beberapa pemimpin Negara di kawasan ini, seperti Chavez di Venezuela dan Morales di Bolivia. Tentu saja situasi tersebut dianggap sebagai ancaman bagi dominasi AS pada level global. Tidak mengherankan bila manuver politik AS di kawasan Asia Timut dengan konflik duo Koreanya dan Iran dengan isu Nuklirnya serta keberlanjutan propaganda anti-terorisme adalah semacam gambaran dari jawaban AS atas tantangan yang ditujukan padanya. Demikian pula campur tangan AS di Libya dengan dalih amanat Resolusi PBB nomor 1973 dan alasan mulia lainnya, adalah gambaran lain yang memperkuat dugaan niat AS untuk memperkuat hegemoninya di kawasan Afrika yang selama ini diganggu oleh keberadaan Khadafi, karena selama ini Khadafi terkenal dengan salah satu pemimpin yang mendorong terbentuknya unifikasi Afrika dan bersikap kritis terhadap politik luar negeri barat dan AS.

Bagaimana sikap Indonesia?
Menurut pengamat hubungan internasional Universitas Airlangga, Ahmad Safril Mubah, Posisi Indonesia hingga saat ini tidak tegas, sedang secara bersamaan korban warga sipil telah menjadi dampak dari serangan militer pasukan koalisi. Mendukung serangan militer, tidak. Menolak serangan Khadafi ke demonstran juga tidak. Seharusnya, pemerintah tegas dengan menyatakan menolak serangan militer dan menolak juga serangan Khadafi ke massa anti pemerintah.Dalam banyak hal, Indonesia seringkali menerapkan praktek diplomasi zero enemy yang berekses pada diremehkannya posisi Indonesia oleh masyarakat internasional.
Bila kita kembali pada konteks permasalahan internal Libya, benar bahwa terdapat klaim jika pemerintahan Khadafi bertindak represif dalam mengendalikan demonstrasi di negaranya sehingga mengorbankan setidaknya 8000 jiwa masyarakatnya. Namun yang harus di ingat, dijumpai pula sinyalemen keterlibatan barat sejak awal (terutama Inggris, karena salah satu perusaannya dinasionalisasi oleh Khadafi beberapa tahun lalu) dalam berbagai aksi anti Khadafi. Sehingga terjadi transformasi gerakan massa menjadi aksi militer yang berujung pada konfrontasi militer antara pihak oposisi dan tentara pro Khadafi. Di samping itu, pendekatan militer yang diterapkan oleh pasukan koalisi harus juga menjadi pertimbangan bagi Indonesia dalam menentukan sikap. Adapun alasan serangan militer sekutu ke Libya, tidak bisa dibenarkan. Sebab, usai resolusi 1973 ditetapkan hari Kamis, Khadafi belum terbukti melanggar zona larangan terbang dan menggempur massa anti pemerintah. Dari perkembangan terakhir, jelas bahwa target operasi milier tersebut adalah kejatuhan Khadafi, yang menurut pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana, resolusi 1973 tidak memandatkan agar Moammar Khadafi untuk turun dari kekuasaan. Indonesia perlu mengingatkan keinginan AS untuk menurunkan Khadafi akan berpotensi menjadikan Libya dalam keadaan perang saudara. Oleh karenanya dalam situasi seperti ini Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar, negara berkembang, dan saat ini Ketua ASEAN sebuah organisasi yang memiliki prinsip larangan campur tangan urusan domestik negara lain, harus bersuara untuk mengingatkan negara-negara koalisi agar tunduk pada mandat Dewan Keamanan PBB dalam resolusi 1973. Sebagaimana prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.